Ketika Bicara Soal Perubahan Iklim - Bismillah...
Aduuh, berat amat Tsay. Cukup timbanganku aja yang berat, bahasan kita jangan.
Oh, tenang... coba bacanya sambil duduk, rileks, dan bernapas dalam-dalam. Mau dihindari tapi ini soal hidup kita. Gimana donk :( .
Sebelumnya saya mau cerita dulu, saat tujuh tahun lalu saya menginjakkan kaki di Kota Cantik ini kulit saya banyak mengalami perubahan. Sampai-sampai pas pulang kampung, tetangga bilang "Koq item, Fik, sekarang? Palangka panas ta?". Waduh, body shaming nih! Wkwkwkw. Tapi saya anggap omongan beliau jadi indikator. Karena suami gak complain, sedangkan saya denial mulu. Masa sih, dalam hitungan bulan, saya yang selama ini terkenal kuning langsat, berubah jadi agak sedikit eksotis -sebut saja begitu. Eh ternyata emang tambah nyoklat di sini :D.
Ya, Palangka panas sekali, Teman, jika dibandingkan dengan kampung saya, Pelaihari-Kalimantan Selatan, yang masih banyak pohon, hutan, dan gunung. Suhu 32-35 derajat Celcius adalah suhu normal kami sehari-hari di sini. Saya pikir tadinya kondisi panas itu disebabkan karena letak geografis Palangka yang lebih dekat dengan khatulistiwa daripada Pelaihari. Tapi sepertinya faktor itu tidak sepenuhnya benar. Dan perubahan warna kulit saya ini ternyata, ah, belum ada apa-apanya dibanding fakta sesungguhnya.
Perubahan Iklim Menuju Krisis Iklim
Tahukah kalian, sejak 1950 bumi mengalami lonjakan drastis jumlah karbon di atmosfer?
Lalu apa masalahnya?
Karbon, sebenarnya adalah hal normal yang di keluarkan oleh makhluk hidup. Manusia, hewan, bahkan tumbuhan juga menghasilkan karbon sebagai fitrah kehidupan. Pada manusia dan hewan karbon dikeluarkan sebagai hasil dari pernafasan (dalam bentuk karbondioksida) dan juga kegiatan memasak makanan, sedangkan pada tumbuhan karbon nampak saat tumbuhan itu mulai mengering dan mati. Itu semua karbon alami yang tidak bisa ditiadakan.
Lalu, yang menjadi masalah tentu saja bukan karbon-alami itu, melainkan karbon-super-masif yang dilepaskan oleh pabrik-pabrik besar, pertambangan, peternakan, peralatan elektronik dan pemanas, kendaraan-kendaraan yang sibuk lalu lalang. Data akuratnya bisa dilihat pada slide presenstasi di bawah, yang bersumber pada Global GHG Emissions by Economic Sector, EPA 2014.
Memang ini terlihat dilema, karena kita akan selalu dihadapkan pada pertanyaan: kalau itu semua tidak bergerak bagaimana perekonomian kita, bagaimana kita bisa bekerja dan makan?
Baik, pertanyaan -yang tentu saja normal- ini mungkin gak akan saya bahas di tulisan kali ini. Tapi, mari duduk santai sambil deep breathing membaca tulisan sederhana ini sampai selesai.
Kembali ke hasil laporan saintis tentang jumlah karbon di atmosfer yang melonjak tajam sejak 1950. Fakta tersebut kemudian diperparah dengan jumlah gas metana yang juga ikut-ikutan naik seiring dengan makin banyaknya sampah organik yang dihasilkan oleh manusia. Ya, gunungan sampah berbau menyengat di TPA itu efeknya sampai ke lapisan ozone.
Jumlah karbon dan metana yang naik ke atmosfer ini kemudian membuat "efek rumah kaca", di mana panas matahari yang harusnya diserap bumi dan dipantulkan lagi ke luar angkasa, nyatanya justru terpantul-pantul di atmosfer (karena terhalangi partikel karbon dan metana yang membentuk lapisan yang mengurung bumi) membuat bumi kembali menerima pantulan panas yang seharusnya ke luar angkasa.
Sudah kebayang gak? Inilah yang dimaksud efek rumah kaca" yang disebabkan lapisan rumah kaca (karbon dan metana di atmosfer)
Akibatnya? Yap, betul sekali, suhu bumi menjadi panas dan terjadilah perubahan iklim.
Perubahan iklim ialah perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang.
Krisis iklim yang ditakutkan
Lalu, apa dampak perubahan iklim?
Yash! Krisis iklim.
Kalian tahu Siberia? Daerah di bagian negara Rusia ini adalah tempat terdingin di bumi dengan suhu paling dinginnya adalah -40 derajat Celcius. Namun pada 2019-2020 lalu Siberia dilanda musim panas hingga menyebabkan kebakaran hutan. What? Kalian bayangin, tempat terdingin di dunia bisa-bisanya sampai terjadi kebakaran hutan apalagi di sini.
Sebaliknya di Texas, yang notabene daerah panas, pada 2021 lalu, membeku dengan suhu -28 derajat Celcius. Disebut-sebut sebagai bencana besar karena cuaca dingin yang ekstrem itu menyebabkan krisis air dan pangan (karena air jadi membeku donk, lahan pertanian juga gak bisa ditanami). Fakta yang bikin tercengang ini saya dapatkan dari pemaparan materi oleh Kak Salma dari Madani Berkelanjutan saat kami melakukan Online Gathering #EcoBloggerSquad membahas mitigasi perubahan iklim.
Adalagi?
Negara kita, tentu saja tidak luput, betapa berita banjir bandang (udah bukan banjir yang menggenang semata kaki lagi) ada di mana-mana tahun lalu. Sebut saja; Sumatera, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, bahkan Papua dan Kalimantan sebagai pemilik hutan terbanyak juga mengalami banjir bandang. Dan khusus di Pulau Kalimantan bahkan tercatat sampai 3x dalam tahun 2021 mengalami banjir besar; Januari, September, dan November. Bayangin, paru-paru dunia bisa sampai banjir bandang? How come?
Fakta-fakta ini kayaknya sudah cukup banget bikin kita berpikir dan bertanya-tanya "koq bisa jadi aneh begini? pasti ada sesuatu. apa ada yang salah? bagaimana setelah ini?". Maka, mengkhawatirkan kondisi planet kita saat ini adalah tindakan yang sudah seharusnya. Bukan malah cuek gak peduli atau bahkan denial.
Mitigasi Perubahan Iklim
Perlahan tapi pasti, pantai dan pulau di seluruh dunia akan tenggelam. Perlahan tapi pasti jika musim panas akan kekeringan dan kekurangan air bersih, jika musim hujan akan datang banjir bandang. Perlahan tapi pasti pertanian akan sering gagal panen, krisis pangan dimana-mana. Perlahan tapi pasti prediksi 2025 bumi akan mulai alami krisis air akan terjadi.
Perlahan tapi pasti semua akan terjadi. Ya, jika tidak dilakukan mitigasi perubahan iklim dari sekarang. Jangan pikirkan apakah sudah pasti akan berhasil, tapi lakukan saja apa yang bisa kita lakukan sebaik-baiknya.
Hutan sebagai faktor mitigasi perubahan iklim
Dalam Online Gathering #EcoBloggerSquad itu disebutkan bawah hutan di Indonesia luasnya 95-an juta hektar atau sekitar 3x luas negara Malaysia sekaligus menjadi 1% dari luas dunia.
Walaupun begitu, hutan Indonesia menjadi tempat untuk 10% jenis flora, 12% jenis mamalia, dan 17% jenis burung yang dimiliki dunia.
Mitigasi artinya penyelamatan. Dan hutan adalah faktor penyelamat perubahan iklim ada di hutan. Bisa dibilang hutan adalah kuncinya. Masih ingat, pemaparan soal "efek rumah kaca"? Bahwa yang terjadi adalah jumlah karbon di atmosfer yang sangat banyak hingga membentuk lapisan yang menahan panas matahari rilis ke luar atmosfer bumi.
Kenapa karbon -yang diproduksi di permukaan bumi- bisa sampai "terbang" ke atmosfer?
Karena penyerap karbonnya berkurang sedangkan jumlah karbon yang dilepas semakin bertambah. Sesimple misal kita disuruh emak ngepel lantai yang basah karena ada air 1 liter tumpah, tapi ternyata yang kita bawa cuma kain pel kecil seukuran tissu wajah. Yhaaa, ra mashoook!
Lalu, apa penyerap karbon?
Yash, pohon, hutan!
Pohon yang besar akan menyerap banyak karbon sebagai bahan fotosintesis mereka.
Pada Online Gathering Jumat 8 April 2022 lalu, Kak Tian dari organisasi Hutan Itu Indonesia, menyampaikan sebuah fakta bahwa 1 pohon durian dewasa dapat menyerap sekitar 1420 kg karbondioksida/tahun. Jika 1 pohon bisa melakukan sebaik itu, bagaimana jika 1 hutan?
Sayangnya, usaha deforestasi atau penggundulan hutan yang signifikan dilakukan setiap tahun -sejak manusia mengenal industri- membuat serapan karbon juga berkurang drastis. Akhirnya lepaslah mereka ke atmosfer membuat lapisan gas rumah kaca "pengurung panas matahari". Dan kita "terpanggang" dalam oven bernama "Bumi".
Maka, jalan keluarnya adalah mengurangi lapisan rumah kaca tersebut -agar panas matahari yang terpantul bisa ke luar angkasa secara normal, salah satunya dengan penyelamatan hutan-hutan bumi.
Tapi, sayangnya, alih-alih menjadi penyelamat bumi, justru hutan di Indonesia menjadi faktor penyumbang emisi karbon.
Loh, koq??
Indonesia sebagai pemilik hutan hujan tropis terbesar ke-3 dunia, hutan gambut terbesar ke-2 dunia, sekaligus peringkat ke-2 dalam hal keanekaragaman hayati, punya andil besar dalam mengerem laju perubahan iklim. Namun, sayangnya justru hutan kita menyumbang jumlah karbon dengan perusakan hutan untuk industri perkebunan, kebakaran hutan dan gambut yang mana gambut menyimban cadangan karbon yang sangat besar dari tumbuhan lapuk zaman purba.
Hasil dari deforestasi itu tentu saja menambah suhu bumi semakin panas. Di sisi lain, mengundang bencana datang silih berganti (hujan kebanjiran, kemarau kebakaran). Padahal hutan adalah aset, hutan adalah penyelamat, hutan adalah berkah.
Hutan adalah Berkah
Allah Maha Baik banget, kita diciptakan di bumi beserta hutan yang terhampar. Karena dalam hutan tersimpan banyak kebaikan-kebaikan untuk manusia. Seperti yang disampaikan Kak Tian kemarin, hutan itu banyak sekali manfaatnya;
1. Sebagai supermarket. Yap, banyak sumber pangan kita berasal dari hutan. Hutan gak cuma soal kayu aja, tapi juga buah-buahan, kacang-kacangan, rempah-rempah, madu, semua tersedia di hutan. Istilahnya adalah HHBK, Hasil Hutan Bukan Kayu. HHBK menjadi komoditas terbesar di hutan (mencapai 95%, sedangkan kayu hanya 5%. Banyak kan yang bisa kita ambil dari hutan selain kayu?
2. Asuransi jiwa. Karena jaminan ketersediaan pangan dan perekonomian, masyarakat yang bergantung dengan hutan menyematkan istilah itu untuk hutan-hutan mereka. Kalau di daerah kami, adalah masyarakat Hulu Sungai Tengah yang paling merasakan manfaat hutan sebagai "asuransi jiwa", sehingga merekalah provinsi satu-satunya yang paling militan menjaga hutan Meratus Kalimantan Selatan.
3. Sumber air. Ini udah jelas banget ya, akar-akar raksasa yang menghujam ke dalam tanah adalah peyimpan cadangan air terbaik.
4. Superman! Wow, hehehe. Karena fungsinya meyerap karbon dan polutan, hutan adalah pahlawan kita dalam misi penyelamatan bumi dari perubahan iklim.
5. Penyimpan karbon. Karbon yang diserap sebagian dipakai dan disimpan, jadi jika terjadi deforestasi ia akan melepas karbon ke atmosfer dalam jumlah yang besar *SO SAD :(. Dan faktanya, hutan Indonesia menyimpan stok karbondioksida terbesar di dunia sebanyak 1,47 GigaTon per tahun yang harus dijaga agar tidak terlepas ke atmosfer (karena perusakan hutan).
6. Mental Health Support. Yash. Jika bicara soal mental health, maka kita akan menemukan anjuran grounding. Grounding atau menyatu dengan alam bisa dengan nyeker di tanah atau memeluk pohon. Jangan disepelekan ya, karena ini sudah ada jurnal penelitiannya. Bahkan saya pernah nemu akun psikolog yang suka ngonten sambil jalan-jalan ke gunung, main air di sungai, meluk pohon, nyeker pula.
Mari jaga bersama
Apakah sekarang sudah terbayang sepenting dan semendesak apa keterjagaan hutan untuk bumi kita? Jadi, mari kita jaga hutan semampu yang kita bisa. Bagi masyarakat desa yang dekat dengan hutan, mereka paham sekali dengan hal ini, karena mereka tahu jika hutan mereka rusak, musnah sudah sumber penghidupan mereka. Sedangkan masyarakat kota, sepertinya harus banyak disadarkan tentang hal ini.
Saya ingat, dulu sekitar 2019 saya mewancarai seorang peternak lebah kelulut di Kabupaten Hulu Sungai Tengah HST. Dari beliau saya akhirnya paham mengapa masyarakat di sana sangat militan menjaga hutan Meratus yang tersisa (satu-satunya provinsi yang hutan Meratusnya masih terjaga). Masyakarat di sana sangat paham bahwa mereka harus berterima kasih kepada hutan yang sudah menjamin hidup mereka, memberi mereka pekerjaan dan juga sandang pangan papan.
Tidak hanya di HST, tapi juga di Sumatera, ada para penjaga hutan yang dengan kesadaran penuh menjaga titipan anak cucu mereka. Mereka sadar bahwa tanpa hutan darimana mereka dapatkan air bersih dan segala makanan. Semoga lewat tulisan ini masyarakat kota yang jauh dari desa dan hutan bisa merasakan urgensitas keterjagaan hutan alami. Kita bisa berkontribusi lewat komunitas pecinta hutan seperti Hutan Itu Indonesia, mensupport para penjaga hutan lewat donasi THR untuk mereka, adopsi pohon, dan kampanye tentang hutan Indonesia.
Seru sekali Online Gathering #EcoBloggerSquad pertama ini, walaupun kami adalah angkatan kedua, tapi tidak mengurangi antusiasme pemateri untuk memaparkan fakta dan mengedukasi kami. Kami harap kami pun bisa mengajak Teman-teman semua untuk sama-sama melakukan sesuatu untuk keselamatan bumi kita.
0 komentar