Paru-Paru Dunia dalam Pusaran Bencana. Kita Bisa Apa? - Bismillah...
Perkenalkan nama saya Latifika. Saya adalah seorang IRT dengan 2 orang anak. Saya lahir dan besar di Kalimantan Selatan. Namun, sejak 7 tahun lalu saya merantau bersama suami demi sesuap nasi. Januari 2015, kami memulai hidup baru di Palangka Raya, ibukota Kalimantan Tengah. And new chapter in our life has begun, tepat beberapa bulan sebelum bencana itu datang.
"Kalimantan adalah Satu-Satunya Pulau di Indonesia yang Paling Aman dari Bencana"
Katanya, Kalimantan diklaim sebagai pulau yang paling aman dari bencana karena secara geografis berada di tengah-tengah gugusan kepulauan Indonesia, tidak menghadap samudera luas, yang artinya aman dari tsunami. Setidaknya dalih itulah yang dipakai untuk memindahkan ibukota negara ke pulau ini.
Dan menambahkan informasi dari BMKG, Kalimantan juga berada cukup jauh dari zona tumbukan lempeng (megathrust) ditambah lagi sesar aktif di bawahnya yang sudah berumur tersier (66-2.58 juta tahun lalu) sehingga segmentasinya tidak aktif lagi memicu gempa.
Sebagai pemilik zamrud khatulistiwa di mana hutan terhampar seluas mata memandang, tentu saja kondisi ini semakin menguntungkan Kalimantan untuk menjaga dirinya tetap eksis sebagai paru-paru dunia. Tidak ada ancaman tsunami, tidak ada gempa, tidak ada letusan gunung berapi. Benar-benar terlihat sempurna untuk menyematkannya sebagai "Satu-satunya Pulau di Indonesia yang Paling Aman dari Bencana".
Namun, itu cerita kakek nenek buyut kita. Sekarang ketika anak cucu cicit mereka hidup, situasi sudah berbeda. Kalimantan memang aman dari bencana alami, tapi tidak dengan bencana buatan.
Kebakaran Hutan 2015
18 Agustus 2015
Inilah hari pertama asap mulai kami rasakan. Sehari sebelumnya, pada 17 Agustus, saya melihat ada helikopter bolak-balik membawa sesuatu. Saya pikir mereka sedang membuat hujan buatan karena kemarau saat itu sungguh kemarau paling panas yang pernah saya rasakan. Kemudian hari baru saya ngeh kalau yang dibawa helikopter itu bukan garam untuk membuat hujan buatan, tetapi bom air. (Lagian masa iya menabur garam pakai helikopter, hehe)
Persis setelah itu, 18 Agustus 2015, asap mulai terlihat, jarak pandang juga mulai terbatas. Keesokan harinya kabut asap mulai menebal dan semakin tebal. Jangan sekali-kali membayangkan kabut seperti di daerah pegunungan yang dingin dan sejuk. Tapi, bayangkan saja seperti ada orang membakar sampah di depan rumah kalian, lalu asapnya masuk ke sela-sela ventilasi mengepung seisi rumah.
Ya, itu awal mula Palangka Raya mengalami kebakaran hutan yang luar biasa massif, mengakibatkan kabut asap yang sangat parah. Ketika saya bilang sangat parah itu tidak lebay. Sungguh. Benar-benar, kabut asap yang tebal membuat mata perih setiap hari setiap berkedip, asap pembakaran yang membawa partikel abu di dalamnya, membuat setiap satu tarikan nafas hidung kami tertusuk-tusuk.
Sesak. Perih. Pusing. Tidak berdaya.....
Tetangga baru saya yang mulai sepuh dan sudah puluhan tahun tinggal di sini bilang, seumur hidupnya baru ini mengalami hal seperti ini. Biasanya yang mereka dapati setiap kemarau hanya kabut asap tipis, yang posisinya melayang-melayang di atas, tidak turun, tidak tebal, dan tidak semengerikan itu.
Hingga Oktober tiba, saat kabut asap semakin tebal sampai berwarna kuning (saking massif nya partikel di dalamnya), hujan tipis-tipis pun datang. Namun sayang, karena tanah di sini adalah gambut, hujan gerimis itu justru menambah pekat kabut asap.
Tiada hari tanpa bekerja keras memasuki lahan yang terbakar bagi petugas pemadam kebakaran dan TNI. Tapi kabut asap terlanjur sempurna menjadi-jadi di daerah bergambut ini.
Tidak ada cara yang bisa memadamkan api yang massif kecuali hujan yang turun dengan massif juga, merata di seluruh wilayah. Tapi sampai Oktober habis, hujan yang dinantikan tidak kunjung turun. Hingga akhirnya, bulan November datang membawa kabar baik. Hujan turun dengan sangat deras hingga kabut asap yang sudah menyelimuti berbulan-bulan pun lenyap. Tiga bulan dalam kepungan asap berakhir sudah.
7 November 2015
Malam itu hujan datang dengan derasnya. Saya tidur dengan nyenyak dan tidak terganggu sama sekali dengan suara hujan lebat itu karena sangat menikmati udara segar yang lama hilang. Kepala kami yang tadinya berat serasa ringan. Udara bersih sudah mulai mengisi paru-paru kami lagi. Saya sudah merindukan tidur tanpa sakit kepala, tanpa nafas berat.
Esoknya saya baru sadar malam tadi ternyata tidak cuma hujan deras tapi juga angin ribut saat melihat ada 5 pohon pisang di halaman tumbang. Tidak sampai di situ, beberapa jam kemudian saya terkesiap mendengar berita: 7 menara SUTET roboh.
Rupanya hujan deras dengan angin, tidak hanya membantai asap tapi juga menara SUTET. Kejadian ini membuat kota Palangka Raya gelap gulita selama sebulan. Saya ingat betul saat itu, harga genset langsung meroket dan sekejap kosong di mana-mana. Beberapa masyarakat bahkan sengaja ke provinsi sebelah untuk berburu genset.
Baru pekan sebelumnya kami menghadapi musim kemarau ekstrem sampai kebakaran hutan, pekan berikutnya kami dihadapkan lagi dengan musim penghujan yang tidak kalah ekstrem. Nasib....
Habis asap, terbitlah gelap
(Palangka Raya 2015)
Ohya, info yang saya dapatkan dari tetangga, tahun 2015 saat itu bertepatan dengan siklus 5 tahunan kemarau panjang yang sangat kering. Dan karena info itu lah saya bersiap kemungkinan terburuk 5 tahun berikutnya. Saya kira 2020 kami mungkin akan menghadapi bencana itu lagi. Tapi, ternyata belum genap 5 tahun kami di"hadiahi" asap pekat lagi, bahkan lebih buruk lagi.
Kebakaran Hutan 2019
Juni 2019
Bulan Juni 2019, musim kemarau berjalan sudah 2 bulan. Tidak disangka-sangka kami kembali mencium bau asap bakaran. Bukankah prediksinya tahun depan? Saya bertanya-tanya dalam hati.
Besoknya bau asap pun semakin menjadi-jadi diiringi penampakan kabut asap yang mulai turun dari atas. Astaga! Kebakaran lagi?
Bulan berikutnya asap terpantau masih ada, namun masih tipis dibanding bencana 2015. Saya sedikit lega sambil menghibur diri "sepertinya tidak akan separah 2015".
Ternyata itu masih pemanasan, Teman. Karena masuk puncak kemarau, Agustus, kabut asap semakin tebal. Rumah tetangga sudah lagi tidak terlihat. Suara helikopter riuh rendah di atas atap, bolak-balik memadamkan lahan yang terbakar di tengah hutan.
September 2019
September 2019 mungkin akan menjadi bulan yang paling tidak ingin diingat kembali oleh masyarakat Palangka Raya. Di antara kebakaran hutan yang terjadi, pada bulan inilah kabut asap paling tebal dan paling mengerikan yang pernah kami hadapi (dan saya selalu merinding setiap kali harus mengingatnya. Semoga Allah jauhkan kami dari bencana itu lagi di kemudian hari).
Saat itu kabut asap tidak lagi berwarna putih pekat, melainkan kuning pekat. Semakin beracun saja udara yang harus kami hirup.
Pusing. Nafas sesak. Hidung panas. Diare. ISPA. Lagi-lagi, kami tidak berdaya.....
Asap kuning pekat ini berlangsung hingga Oktober 2019. Kurang lebih 2 bulan. Lebih parah daripada kejadian tahun 2015. BNPB melaporkan bahwa ada 112 titik hotspot lebih banyak dibanding tahun 2015.
Jika kalian belum terbayangkan juga bagaimana kondisi asap yang terpaksa kami hirup, coba lihat hasil indeks kualitas udara saat itu berdasarkan aplikasi IQ Air dengan sumber data dari KLHK.
Hazardous, adalah indeks yang menunjukkan bahwa kualitas udara berbahaya dan beracun. For your information, indeks udara tertinggi hazardous di IQ Air adalah 500.
Dan berapa indeks udara Palangka Raya saat itu?
1939!
4x lipat dari batas tertinggi hazardous.
Bahkan saking tingginya, pernah terpantau grafik ERROR tidak terbaca (di atas 2000).
Saya yang dewasa saja sakit kepala, sesak, apalagi anak-anak?
Tidak terbayangkan pula bagaimana para pemadam kebakaran yang turun ke lapangan. Jika kami berjibaku dengan asap pekat, mereka berjibaku dengan asap dan panas yang membara. Luar biasa. Terimakasih saya ucapkan kepada para pahlawan kami, hanya Allah yang bisa membalas jerih payah kalian.
Kitalah pemilik hutan hujan tropis terbesar ke-3 dan hutan gambut terluas ke-2 di dunia. Tapi, mungkin juga kitalah yang jadi pemilik kebakaran hutan terbesar dunia.
Kebanjiran 3x Selama 2021
Dua tahun paska kebakaran hutan apakah kami sudah bisa hidup tenang? Sayangnya tidak. Tercatat Januari, September, November 2021 Kalimantan mengalami banjir yang dikatakan sebagai banjir terparah yang pernah terjadi.
Januari 2021 hampir seluruh kabupaten di Kalimantan Selatan terendam oleh banjir. Karena topografi yang berada di kaki pegunungan Meratus -yang sudah lama (di)rusak, alhasil air hujan yang deras itu meluncur tanpa ada yang menahan. Selain karena masalah deforestasi karena penambangan dan perkebunan, BMKG mengatakan tahun itu curah hujan lebih besar 8x daripada biasanya.
September dan November 2021, giliran Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang merasakan banjir. Banjir bukan sembarang banjir karena banjir kali ini surutnya sampai sebulan. Bagaimana mau surut cepat jika akar penyerap air sudah berganti dengan akar beton?
Ternyata banjir Kalimantan 2021 juga bersamaan dengan banjir di Cina yang menurut berita terparah sepanjang 1000 tahun ini.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Titik Balik Kesadaran
Dua kali menghadapi langsung bencana asap dan melihat saudara-saudara lain menderita karena banjir beberapa kali dalam tahun yang sama, mau tidak mau meninggalkan trauma yang dalam. Saya yang dulu yang cuek dengan sekitar, sekarang jadi lebih sensitif jika menyangkut soal lingkungan.
Pemahaman Soal Perubahan Iklim
Sebenarnya fenomena-fenomena tersebut adalah dampak dari perubahan iklim yang sudah terjadi hampir 1 abad lamanya. Perubahan iklimterjadi karena pemanasan bumi dalam waktu yang lama hingga mengubah pola cuaca dan iklim.
Bumi sebenarnya punya cara untuk menstabilkan suhunya. Saat jumlah karbon dan metana terkontrol, tidak ada yang menghalangi panas matahari yang terpantul ke luar angkasa. Sebagian panas yang masuk juga diserap jutaan pohon untuk berfotosintesis di bumi yang masih terjaga. Tidak hanya menyerap panas, jutaan pohon di bumi juga menyerap karbon yang dikeluarkan manusia dan hewan.
Lalu, yang terjadi sekarang adalah: jutaan pohon itu ditumbangkan untuk keperluan industri, hutan gundul, sampah manusia yang semakin menggunung, pabrik-pabrik mengeluarkan karbon yang massif, mobilitas manusia yang semakin tinggi.
Itu semua membuat emisi karbon dan metana melonjak, menciptakan lapisan gas rumah kaca di atmosfer, membuat panas matahari yang harusnya terpantul ke luar angkasa justru kembali ke bumi karena terhalang gas rumah kaca Itulah yang disebut efek rumah kaca atau pemanasan global. Dan tahun lalu bumi diprediksi mengeluarkan 36,4 gigaton karbon dioksida pada tahun 2021, menurut laporan Global Carbon Project (GCP). Ini sangat berefek pada kenaikan suhu bumi.
Global warming yang terjadi terus menerus mengakibatkan climate change yang jika tidak tertangani dengan baik akan menjadi krisis iklim dan membuat bencana alam semakin parah: badai yang lebih sering, kekeringan yang ekstrem, banjir yang terlampau sering, dan gelombang panas yang semakin memicu kebakaran hutan
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2018 menyimpulkan bahwa untuk menstabilkan iklim, emisi gas rumah kaca dunia harus dikurangi setengah dari jumlah saat ini hingga tahun 2030 dan mencapai nol pada tahun 2050.
Bahasan yang menyangkut penghuni satu planet tentu saja harus dibahas dan diupayakan di tingkat negara. Apakah kita yang hanya rakyat biasa tidak bisa berkontribusi?
Kecil bukan berarti tidak berdaya. Apa yang bisa kita lakukan, lakukan saja, walaupun kita melihat "Eh, apa sih ngaruhnya?" Wah, jangan selepekan tindakan kecil. Kalau semua orang di planet ini berkesadaran, bukan tidak mungkin kita bisa menghambat laju kenaikan suhu penyebab climate change.
Lalu, apa saja yang sedang saya upayakan?
Menggunakan Minyak Kelapa
Karena fakta yang terlampau dekat, sejak beberapa tahun lalu kami memutuskan untuk mengganti minyak goreng sawit dengan minyak goreng kelapa. Walaupun lebih mahal, setidaknya kami sudah mengurangi ketergantungan kami kepada sawit sebagai tanggung jawab kami terhadap masa depan bumi.
Selain soal lingkungan, alasan kami memilih minyak kelapa tentu juga karena soal kesehatan. Minyak kelapa bisa digunakan beberapa kali pemakaian dan minyaknya tidak cepat berwarna hitam seperti minyak sawit.
Mendukung Para Penjaga Hutan
Bagaimana caranya?
Jika kondisi kita dirasa terlalu jauh untuk ikut melestarikan hutan secara langsung, kita bisa ikut support para penjaga hutan dengan memberikan dukungan materi berupa donasi seperti yang dilakukan komunitas Hutan Itu Indonesia. Donasi itu akan diberikan kepada para penjaga hutan yang bekerja secara swadaya. Selain itu ada juga program Adopsi Pohon Hutan dan Kampanye #JagaHutan.
Semoga para penjaga hutan Indonesia yang lain bisa setangguh penjaga hutan Gunung Leuser Aceh yang sangat menginspirasi.
Memilah Sampah
Tahukah kalian, sampah yang dihasilkan dari limbah rumah tangga mengambil porsi hampir 40% dari keseluruhan limbah yang menggunung di TPA? Data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini membuat saya terkejut, ternyata selama ini saya penyumbang porsi sampah terbesar??
Walaupun masuk kategori sampah organik, namun faktanya jika hanya menumpuk di gunungan TPA, sampah organik tidak akan hancur menjadi tanah. Alih-alih melapuk dan hilang, sampah organik justru mengeluarkan gas metana yang 20x lebih merusak ozone dibanding karbon.
Bahkan pernah ada kasus ledakan di gunungan sampah yang memakan korban jiwa 21 tahun lalu di TPA Leuwigajah Bandung -dan sejak kejadian itu sampai sekarang diperingati sebagai Hari Sampah Indonesia. Gas metana memang gas yang mudah meledak sehingga rawan sekali. Selain itu sampah organik yang tidak tertangani dengan baik akan juga sumber penyebaran penyakit.
Maka dari itu, sekarang saya memilah sampah yang akan dibuang ke tempat sampah. Saya pisahkan sampah organik dari dapur dengan sampah anorganik. Tujuannya agar sampah anorganik yang cenderung kering bisa didaur ulang oleh pemulung. Karena jika sampah anorganik terkena sampah organik, maka akan basah, rusak, dan berbau. Begitu pula si sampah organik pun juga tidak bisa hancur karena tercampur aduk oleh sampah anorganik. Sayang, bukan?
Setelah memisahkan 2 jenis sampah itu, kemana sebaiknya sampah anorganik dibuang?
Sampah anorganik bisa dipisahkan lagi berdasarkan jenisnya, seperti; masker medis, plastik tipis, plastik tebal, botol kaca, botol plastik, kain, dll. Lalu, kirimkan ke bank sampah terdekat atau komunitas daur ulang. Misalnya Bank Sampah Bersinar yang menerima donasi sampah masker (Cek IG nya @banksampahbersinar.id), baju bekas, plastik dan botol bisa didrop ke bank sampah yang tersedia di wilayah masing-masing.
Ohya, minyak jelantah juga jangan dibuang ya, karena merusak lingkungan dan menghambat pelapukan tanah. Sekarang sudah banyak yang mau menampung jelantah karena akan didaur ulang menjadi bio diesel dan limbah jelantah kalian bisa dihargai.
Mengolah Sampah Organik
Mengapa sampah organik perlu dikelola?
Karena sampah organik membutuhkan waktu untuk hancur menjadi tanah (1 bulan - 1 tahun). Namun, jika dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) justru keberadaannya menjadi ancaman baru yang besar, seperti emisi gas metana dan sumber penyakit karena tidak bisa terurai dengan baik, seperti yang saya tulis di atas.
Jumlah sampah organik menempati komposisi pertama sampah di Indonesia berdasarkan data Kementrian LHK. Berikut data yang diperoleh tahun 2017 dan 2020.
Sampah organik menempati puncak teratas atau sekitar 30 juta ton setiap tahun dari 64 juta ton total sampah yang masuk TPA se-Indonesia.
Fakta ini lebih dari cukup menunjukkan bahwa sampah dapur kita mendominasi sampah di TPA. Padahal sampah organik jika dikelola dengan baik, maka kebaikannya akan kembali pada kita. Saya sudah membuktikannya. Masya Allah, luar biasa efeknya. Saya bisa memproduksi pupuk sendiri, cairan pembersih ramah lingkungan, pupuk kalsium, sampai menanam sayur-sayuran organik.
Mengolah sampah repot, katanya. Wah, kalian hanya belum mencobanya saja. Karena selain bisa memproduksi pupuk organik, nanti kalian juga akan merasakan positive vibes seperti yang saya rasakan saat mengolah sampah organik sendiri. Trust me.
Sebagai IRT yang suka memasak seperti kebanyakan yang lain, setelah kegiatanmasak-memasak di dapur selesai, saya selalu mendapati sampah organik saya selalu bertambah banyak. Lalu tercetuslah ide membuat Garbage Mapping ini yang tujuannya untuk memudahkan saya mengelola setiap jenis sampah organik yang cukup beragam macamnya.
Eco enzyme dari kulit buah dan sayur adalah program pertama saya setelah berkenalan dengan sustainable living. Tapi setelah mencoba sendiri saya baru tahu bahwa hanya kulit buah yang bagus jadi eco enzyme karena wanginya segar. Sedangkan batang sayur dan cangkang telur tidak saya buat eco enzyme lagi karena tidak wangi, hehe.
Lalu dikemanakan itu semua?
Akhirnya batang sayur saya regrow dan cangkang telur saya buat jadi pupuk kalsium (dicuci, dijemur, dihaluskan).
Eco enzyme membutuhkan waktu 3 bulan untuk panen, karena wadahnya tidak banyak, sedangkan kami sering makan buah, oleh karenanya sebagian saya buat kompos beserta daun dan rumput kering di halaman rumah.
Menanam Pohon Sekitar Rumah
Kalian pernah merenung kenapa di bawah pohon bisa terasa sejuk? Mari kita list jawabannya.
1. Pohon menyerap panas untuk melakukan fotosintesis, jadi panas mataharinya ke pohon bukan ke kita.
2. Pohon menyerap karbon sisa pembakaran dari sekitar, bahkan 1 pohon durian bisa menyerap 1400 kg karbondioksida setiap tahun.
3. Pohon mengeluarkan oksigen hasil dari fotosintesis dan uap air, sehingga udara di sekitar pohon terasa bersih dan sejuk.
4. Di bawah pohon ada akar pohon yang mengikat cadangan air, sehingga tanah yang kita pijak tidak kering dan panas.
Maka dari itu keberadaan pohon, terlebih hutan, sangat urgen.
Kondisi kita sebagai ibu-ibu yang berkutat di rumah memang rasanya sulit untuk terjun melakukan reboisasi ke gunung dan hutan-hutan. Selain support lewat komunitas pecinta hutan, kita juga bisa melakukan penghijauan di rumah kita sendiri. Tanam dan rawat pohon di tanah sekitar rumah, setidaknya untuk jadi penyerap karbon yang dihasilkan oleh keluarga kita.
Sekarang di rumah kami sedang ada program penanaman bibit pohon memanfaatkan lahan seberang rumah yang dekat dengan parit besar. Lahan itu sekitar 10 x 2 meter, yang selama ini hanya ditumbuhi ilalang. Saya merasa sayang dan ingin memanfaatkannya. Program ini masih dalam tahap pembersihan rumput liar dan pembuatan kompos dengan memanfaatkan rumput liar yang dibabat dan juga sampah organik dapur kami. Bibit yang saya siapkan (kelengkeng, durian, pisang, lemon dan jambu biji) akan ditanam saat kompos sudah panen akhir bulan Mei nanti. Semoga saya bisa segera menghijaukan halaman depan rumah kami tahun ini.
Membuat Vlog
Ketertarikan saya mengolah sampah organik ini berujung pada vlog yang saya jalankan. Saya mendokumentasikan pengolahan sampah dapur #UntukmuBumiku lewat vlog, blog, dan story IG. Saya ingin menularkan positive vibes yang saya dapat saat mengolah sampah.
Ketika saya mengolah sampah organik saya menghasilkan pupuk terus-menerus. Jadi mau tidak mau saya menambah tanaman di rumah agar pupuk organik bisa saya manfaatkan. Dan benar saja, saya merasakan sendiri manfaatnya berbalik ke kita. Saya yang dulunya setiap kali beli tanaman malah jadi mati karena tidak bisa merawat, sekarang dengan bantuan kompos dan ezo enzyme buatan sendiri saya bisa merawat tanaman-tanaman itu dengan mudah. Berbekal itulah saya kemudian memberanikan menanam pohon di depan rumah. Semoga saja mau tumbuh ya :).
Dari hasil sharing di media sosial dan vlog saya, sekarang sudah ada beberapa teman yang tergerak untuk membuat eco enzyme dan kompos. Senang sekali!! Bahkan mama sekarang juga pengen ikutan bikin. Duh, combo senangnya! Alhamdulillah.
Sejak merasakan manfaat eco enzyme saya memang tidak bisa menahan diri untuk tidak sharing. Saya cuma pengen menyadarkan ke orang-orang, untuk #TeamUpforImpact, sungguh betapa ruginya kita membuang sampah organik, karena dibuang di TPA hanya akan menambah gas metana, mending diolah, manfaatnya jadi luar biasa dan itu kembali ke kita. Sungguh menyesal saya karena baru sadar sekarang. Kenapa tidak dari dulu ya? 🙈
Apalagi dengan pemberian eco enzyme dan kompos ke tanah akan memperbaiki struktur tanah di tempat kita. Kenapa? Karena eco enzyme dan kompos tidak hanya memberi nutrisi pada tanaman itu sendiri tapi juga kepada tanah serta menghidupkan kembali mikroorganisme tanah yang bagus untuk keberlangsungan ekosistem.
Dari sampah, lalu dipilah, kemudian diolah, jadilah berkah
Nah, buat Teman-Teman yang sudah mulai merenungkan isi bak sampahnya sekarang dan bingung harus apa, saran saja coba ini dulu: pilah pilih sampah organik dan anorganik, lalu yang organik buat kompos dan eco enzyme. Atau kalian bisa juga coba ikuti garbage mapping yang saya buat di atas.
Kalau masih bingung gimana caranya? Di YouTube dan Facebook banyak yang membahasnya. Nanti sekali kalian merasakan hasilnya, kalian akan merasakan kesenangan sendiri dari mengolah sampah organik. Dan perasaan bersalah kepada bumi karena suka nyampah semakin berkurang.
Bumi bukan warisan, dia titipan anak cucu kita untuk tetap bisa bertahan hidup di zamannya. Tegakah kita rusak alam-untuk-mereka?
Sumber referensi:
- https://zonautara.com/2019/11/05/sampah-plastik-14-terbesar-sampah-organik/
- https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/persentase-komposisi-sampah-indonesia-2020-1623403927
- https://katadata.co.id/iftitah/berita/6261ec5d22e02/perubahan-iklim-tema-google-doodle-hari-bumi-2022-ini-penjelasannya
- BBC News
- CNN Indonesia
- Hutan Itu Indonesia
- Madani Berkelanjutan
- Foto, infografis dan vlog dokumen pribadi
0 komentar