Berselimut Polusi, Menantang Perubahan Iklim. Kita Generasi Terakhir? – Bismillah…..
Hari itu, tiba-tiba datang badai debu bak tsunami yang siap menelan. Langit menjadi kekuningan, udara kotor penuh partikel, sesak, dan debu tebal melapisi semua bagian rumah hingga perkakas makan. Disusul wacana gagal panen di banyak kebun dan sebaran penyakit infeksius, membuat planet bumi di tahun 2067 menjadi planet yang tidak lagi layak huni.
Seorang engineering pun harus beradaptasi menjadi petani agar bisa mengelola kebun untuk ketahanan pangan keluarga mereka. Tapi, bumi semakin rusak hingga tidak ada lagi harapan.
Ilmuwan pun segera meluncurkan tim astronotnya untuk menjalankan satu-satunya solusi terakhir: mencari planet baru. Pencarian planet pun dilakukan demi menyelamatkan manusia bumi dari kepunahan.
***
Interstellar, film yang saya tonton 5 tahun lalu tapi bikin saya terus mikir sampai sekarang. Kejadian di film itu, soal bumi yang sedang mengalami krisis iklim dan pangan di masa depan seperti menjadi semakin dekat dengan kenyataan.
Apakah kita nanti harus mencari planet baru? Atau kita masih bisa memperbaiki bumi yang sudah di gerbang krisis ini?
Daftar Isi [show]
Polusi yang Menyelimuti Atmosfer
Kalau di film Interstellar diceritakan bahwa bumi mengalami badai debu bertahun-tahun. Maka, di kehidupan nyata sekarang badai debu itu sudah terjadi dalam bentuk selimut polusi yang akan kita bahas kali ini.
Polusi, tentu sering kita dengar sejak SD. Jika disebut kata polusi, maka yang terbenak di kepala kita adalah asap mobil, motor dan pabrik.
Tapi, semakin ke sini banyak hal yang baru saya sadari. Ya, ternyata polusi gak sekedar kepulan asap hitam. Sapi buang-angin pun bisa jadi polusi yang bisa mempengaruhi lapisan ozon.
Bicara soal polusi, ada satu istilah yang saya baru pahami benar-benar, yaitu: gas rumah kaca. Polusi dan gas rumah kaca sebenarnya sama. Tapi dari gas rumah kaca itu akhirnya saya paham bahwa polusi lebih dari asap di permukaan bumi, tapi juga terbang menyelimuti atmosfer. Bahkan polusi bisa tidak berbau dan tidak melulu berwarna hitam pekat.
Gas Rumah Kaca
Kalian pasti sudah sering dengar juga istilah gas rumah kaca, kan? Apakah ini adalah gas yang dihasilkan dari rumah kaca?
Jawabannya, bukan.
Gas rumah kaca, tepatnya, adalah gas yang dihasilkan dari permukaan bumi dan naik ke lapisan ozon. Jadi, segala aktivitas biologis makhluk hidup menghasilkan gas rumah kaca. Mulai dari aktivitas bernafas, memasak, buang angin, sampai daun gugur pun menghasilkan gas rumah kaca. Ya, tanaman, hewan, dan manusia adalah sumber gas rumah kaca alami.
Makhluk hidup secara alami menghasilkan gas rumah kaca, terutama gas karbondioksida sebagai konsekuensi proses pembakaran sel-sel tubuh dan gas metana yang dihasilkan dari pembusukan bahan organik.
Lalu, apa bahaya gas rumah?
Sebenarnya, gas rumah kaca adalah sesuatu yang natural dan sebuah mekanisme untuk menyeimbangkan bumi agar mempunyai suhu hangat yang ideal untuk tinggal makhluk hidup.
The fun fact is gas rumah kaca yang keluar secara alami dapat mengendalikan suhu bumi, karena tanpanya bumi akan terlalu dingin. Jadi, sebenarnya panas matahari yang diterima bumi, sebagian diserap oleh bumi dan gas rumah kaca di atmosfer dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar angkasa. Sehingga suhu bumi jadi stabil.
Lalu, apa bahaya gas rumah kaca(2)?
Bahayanya adalah ketika gas rumah kaca sudah tidak lagi teremisi secara natural. Gas rumah kaca menjadi bahaya ketika melewati ambang batas normal. Menurut para ahli, kenaikan jumlah gas rumah kaca dipicu revolusi industri 2.0, era dimana penemuan mesin-mesin mulai terjadi, era dimana tenaga otot diganti dengan mesin uap. Saat itu lah emisi karbon pelan-pelan naik.
Dan tahun 1950 tercatat naiknya jumlah gas rumah kaca yang sangat tinggi dan 20 tahun kemudian, yaitu 1970 emisi gas rumah kaca naik drastis berada jauh di ambang normal.
Jika sudah begitu gas rumah kaca akan menebal dan menahan panas matahari lebih banyak, alih-alih ada yang keluar ke angkasa, justru membuat panas matahri terpantul-pantul kembali ke bumi karena tertahan lapisan gas rumah kaca yang menebal.
Inilah yang disebut dengan pemanasan global alias global warming
Perhatikan ilustrasi sederhana di bawah.
Ada 6 senyawa gas penyebab rumah kaca, yaitu CO2 (karbondioksida), CH4 (metana), CFC (klorofluorokarbon), NO (nitrogen monoksida), NO2 (nitrogen dioksida), SO2 (sulfur dioksida).
CO2 adalah gas hasil pembakaran (sampah, kendaraan bermotor, pabrik, letusan gunung berapi, kebakaran hutan). CH4 adalah gas hasil pembusukan bahan organik. CFC adalah gas freon buangan mesin pendingin). NO dan NO2 adalah hasil pembakaran hidrokarbon. Sedangkan SO2 adalah hasil pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur.
Generasi dengan Perubahan Iklim
Ada yang bilang kita yang hidup sekarang adalah generasi pertama yang merasakan perubahan iklim.
Saya pribadi merasakan dampak perubahan iklim saat karhutla besar melanda di tahun 2015 lalu datang hujan badai hingga merobohkan 7 tower SUTET di kota kami. Saat itulah saya menghadapi cuaca ekstrem pertama kali (kemarin masih panas membara, esoknya hujan badai datang).
Dan semakin ke sini cuaca ekstrem semakin sering terjadi.
Namun, ternyata yang saya alami sudah terjadi jauh sebelum itu.
Flash back ke abad 20.
Tahun 1975 adalah kali pertama istilah “global warming” dicetuskan oleh Ilmuwan Amerika, Wallace Broecker. Saat itu penduduk bumi sudah mencapai 4 milyar penduduk dengan emisi karbon dari pembakaran fosil lebih dari 1 milyar ton per tahun.
Lalu, pada tahun 1990 IPCC (Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim) mengeluarkan laporan pertama mereka sejak dibentuk tahun 1988 bahwa telah terjadi peningkatan suhu sebesar 0.3 – 0.6°C dalam satu abad terakhir.
Peningkatan suhu tersebut karena adanya kenaikan drastis jumlah emisi karbondioksida, yang selama 1000 tahun selalu di bawah 300 ppm, menjadi 400 ppm.
Kenapa emisi karbon meningkat?
Karena sejak revolusi industri, manusia mengenal mesin tenaga uap yang berbahan bakar fosil dan mengeluarkan emisi berkali-kali lipat dari sebelum masa revolusi industri.
Kenaikan suhu bumi yang meningkat ini mengakibatkan keseimbangan yang selama ini berjalan menjadi terganggu. Ya, selimut polusi membuat bumi semakin dan panas dan menyebabkan perubahan iklim.
Tunggu, perubahan iklim itu apa sih?
Perubahan iklim artinya perubahan yang terjadi pada komposisi di atmosfer yang mengakibatkan perubahan pada komponen iklim, sperti: cuaca, curah hujan, intensitas angin dalam jangka waktu yang lama.
Perubahan komposisi di atmosfer ini tidak lepas dari penambahan gas rumah kaca yang terjadi bertahun-tahun.
Seperti yang saya bilang di awal bahwa pada dasarnya gas rumah kaca adalah sesuatu yang natural dan baik untuk keseimbangan bumi. Gas rumah kaca menahan sebagian sinar matahari agar tidak terpantul seluruhnya ke luar angkasa.
Intinya, dengan jumlah gas rumah kaca yang normal, sinar matahari akan diserap secukupnya untuk membuat bumi tetap hangat.
Namun, sebaliknya jika berlebih akan membuat lapisan gas rumah kaca semakin tebal dan menahan hampir seluruh sinar matahari yang diterima.
Analoginya seperti saat kita memakai selimut untuk menghangatkan dan membuat nyaman, namun saat selimut itu semakin tebal dan tebal, apa yang terjadi? Suhu di dalam meningkat, alih-alih nyaman, justru malah kita gelisah karena kepanasan.
Ya, betul. Seperti itulah bumi kita sekarang, “gelisah kepanasan” karena #SelimutPolusi dan akhirnya terjadi ketidakseimbangan.
Lalu. apa saja dampaknya?
Cuaca ekstrem
Kalian tahu Siberia? Salah satu daerah di Rusia bagian utara yang berabad-abad terbiasa dengan musim panas yang pendek dan musim dingin yang panjang dan sangat dingin. Bahkan di Siberia terdapat satu daerah terdingin di dunia, yang konon bisa mencapai -60°C.
Ratusan tahun dengan iklim seperti itu, tiba-tiba saja pada 2018 – 2019 Siberia mengalami gelombang panas yang menyebabkan kebakaran hutan dengan asap tebal membentang sejauh 4.800 km. Menurut para ahli, kebakaran hutan itu bahkan mengirim emisi 505 juta ton karbondioksida ke atmosfer.
Apakah perubahan iklim hanya soal keadaan yang memanas? Ternyata tidak. Lebih tepatnya berefek pada munculnya cuaca ekstrem.
Sebut saja Texas di Amerika Serikat, adalah kebalikan dari Siberia. Iklim di Texas punya musim panas yang panjang dan menyengat. Sedangkan di sana musim dinginnya pendek, dingin dan berangin. Kalian yang belum pernah ke sana bisa mengecek informasi ini di website Weather Spark.
Ya, Texas identik dengan cuaca yang panas seperti yang kita lihat penggambarannya di film-film.
Namun apa yang terjadi saat 2019 lalu? Tiba-tiba terjadi badai salju tebal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Karena mereka tidak pernah mengalami ini sebelumnya, maka saat itu disebut-sebut sebagai bencana terparah di sana karena terjadi krisis air (karena air semuanya membeku) dan krisis listrik karena jaringan terputus oleh badai salju lebat.
Bayangkan saja, tempat yang biasa dengan salju tebal mengalami kebakaran hutan dan tempat yang biasanya panas menyengat tiba-tiba turun salju tebal? Kalian bisa bayangkan seberapa ekstrem perubahan suhu yang terjadi.
Gelombang panas
Akhir-akhir ini gelombang panas merebak di mana-mana. Yang baru saja terjadi adalah di Eropa Barat Juli 2022 lalu. Gelombang panas ini disebut-sebut memakan korban hingga 1000 orang lebih karena serangan heatstroke.
Ya, tubuh mereka terbiasa dengan iklim yang dingin bahkan musim panas saja di sana masih sejuk. Tiba-tiba saja dikejutkan dengan gelombang panas bersuhu 40°C dan memicu terjadinya heatstroke.
Bahkan 19 tahun lalu, tepatnya di musim panas 2003, gelombang panas terpanas sepanjang sejarah di Prancis menelan korban hingga 15.000 orang.
Sedihnya lagi, bahkan Badan Metereologi Dunia (WMO) sudah merilis peringatan bahwa gelombang panas akan terjadi lebih sering dan lebih intens lagi seiring dengan pemanasan global yang tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Karena ya, ternyata gelombang panas tahun ini terjadi juga pada tahun-tahun sebelumnya, dan tahun 2022 menjadi yang terparah sepanjang 5 abad terakhir.
Apakah Indonesia akan terkena gelombang panas sebagai efek perubahan iklim? Kata para ahli sih, tidak. Tapi……
Banjir intens
Jika Indonesia masih bersyukur tidak terkena ancaman gelombang panas dikarenakan posisi geografisnya yang merupakan negara kepulauan, tapi Indonesia masih terancam dengan bencana banjir yang diprediksi akan semakin intens.
Tepatnya banjir, longsor dan puting beliung.
Saat gas rumah kaca masuk ke atmosfer, suhu akan meningkat dan memicu evaporasi (penguapan) ke atmosfer. Peningkatan kelembaban ini akan memicu hujan yang semakin deras dan semakin ekstrem.
Peneliti dari MIT menemukan fakta baru bahwa kenaikan suhu bumi 1°C akan membuat hujan di wilayah tropis akan bertambah ekstrem sebesar 10%.
No one is safe from climate change! Tidak ada yang selamat dari perubahan iklim.
Ya, tidak ada yang bisa selamat, bahkan negara penyumbang polusi terkecil pun akan kena dampaknya, seperti Pakistan yang beberapa bulan lalu diterjang banjir bandang, 1000 orang dinyatakan meninggal.
Kenaikan permukaan air laut
Berita mencairnya es di kutub adalah salah satu dampak dari perubahan iklim yang sering kita dengar akhir-akhir ini.
Kenaikan permukaan air laut membuat banjir rob (banjir pasang air laut) akan semakin sering kita temui. Belum termasuk banjir yang sudah dijelaskan pada poin sebelumnya.
IPCC memprediksi bahwa kenaikan air laut mencapai 1,1 meter pada tahun 2099. Tapi temuan peneliti dari University of Copenhagen dan Norwegian Research Centre University mengatakan bahwa permukaan air laut naik 60% lebih cepat dari perkiraan IPCC.
Selain membuat banjir rob, kenaikan air laut juga akan menciptakan gelombang badai dan gelombang laut yang lebih tinggi. Kenaikan air laut juga akan merusak ekosistem pantai seperti hutan Mangrove yang mana menjadi habitat hewan pesisir dan mata pencaharian penduduk pinggir pantai. Dan lama-kelamaan akan menenggelamkan pulau-pulau kecil dan dataran rendah.
Ohya, just for your information, puncak Jayawijaya yang terkenal dengan salju abadinya diprediksi BMKG akan menanggalkan status “abadinya” karena salju tersebut diprediksi akan menghilang tahun 2025 karena pemanasan global.
Krisis Pangan
Setelah menulis soal perubahan iklim pertama kali bulan Oktober tahun lalu, keinginan untuk rutin mengompos dan membuat eco enzyme jadi lebih besar. Dan itu berlanjut pada kegiatan bercocok tanam kecil-kecilan di rumah saya sebagai tindak lanjut dari kompos yang saya hasilkan.
Tapi, tanaman tomat saya yang harusnya dipanen pekan lalu tiba-tiba patah batangnya karena dilibas hujan deras. Padahal baru 1 tanaman dan saya jadi mangkel. Saya pun jadi terbayang betapa menderitanya petani kita yang mengalami gagal panen karena perubahan iklim yang membuat musim sulit diprediksi.
Gimana tidak menderita, perubahan iklim membuat musim menjadi sulit diprediksi. Jadwal masa tanam dan panen yang sudah turun-temurun mereka pelajari dari orangtua mereka menjadi kacau-balau.
Saat masa tanam yang harusnya di awal musim hujan ternyata malah datang cuaca panas menyengat. Fase vegetatif (pembentukan batang dan daun) menjadi terhambat, karena pada fase ini tanaman perlu banyak air. Sedangkan fase generatif idealnya tiba saat musim kemarau, karena pembentukan bunga dan buah tidak lagi memerlukan banyak air. Justru jika hujan datang berhari-hari, bunga dan calon buah akan rontok, alhasil tanaman menjadi gagal panen.
Jika gagal panen terjadi terus-menerus tanpa ada mitigasi maka krisis pangan akan menjalar. Tidak hanya terjadi di satu daerah tapi bisa jadi seluruh duniaa karena perubahan iklim bersifat global, bukan lokal.
Wabah penyakit baru
Dikutip dari Science Daily bahwa ada studi yang dilakukan ilmuwan dari Georgetown University, AS, bahwa pemanasan global memaksa hewan-hewan melakukan migrasi dari tempat asalnya, mencari habitat baru.
Dalam proses migrasi itu memungkinkan terjadi perpindahan virus yang ada pada hewan-hewan tersebut ke hewan lain atau bahkan manusia. Peristiwa ini membuat kemunculan virus baru menjadi acak dan meluas, seperti virus Corona, Ebola, dan SARS.
Selain itu, pemanasan global juga memicu merebaknya hama tanaman. Unsur iklim berpengaruh terhadap perkembangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Hal ini terjadi karena perubahan iklim memicu terjadi penyebaran spesies yang menginvasi wilayah lain.
Pada essai yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Perkebunan, fluktuasi suhu dan kelembaban udara juga mampu memicu pertumbuhan dan perkembangan OPT. Seperti pada isu munculnya hama baru Spodoptera frugiperda, penyakit Pestalotiopsis sp. pada karet, dan hama Pseudotheraptus sp. pada kelapa menjadi contoh OPT yang berkembang akibat adanya peran perubahan iklim global.
Kolaborasi untuk Bumi
Gimana? Bikin parno kan? Bicara soal perubahan iklim memang bikin parno, sampai ada istilahnya: climate-anxiety.
Kalian gak sendiri, karena hampir yang mengetahui fakta tenta kondisi planet ini mengalami anxiety alias kecemasan parah terhadap masa depan planet ini.
Jujur saja, ketika mengetahui ini pertama kali pun saya mengalaminya. Rasanya sudah hopeless saja melihat cuaca semakin ekstrem.
Tapi hidup dalam kecemasan-kecemasan hanya akan memperpendek usia, karena imunitas kita tergerus oleh stres dan depresi.
Maka, untuk mengurangi kecemasan tersebut hal yang paling benar adalah #MudaMudiBumi melakukan aksi nyata #UntukmuBumiku untuk memperbaiki kondisi bumi.
Iklim yang mulai berubah ini memang tidak bisa lagi dikembalikan seperti semula. Seperti proses fisika yang irreversible, begitulah iklim ini berjalan. Jadi perubahan iklim yang sudah terjadi tidak bisa dikembalikan ke kondisi normal saat sebelum terjadi revolusi industri.
Namun, ada satu hal yang bisa kita lakukan.
Ya, menahan laju perubahan iklim.
Menahan laju perubahan iklim bukan hal gampang, tapi bukan berarti ini mustahil. Yang kita perlukan adalah #TeamUpForImpact, melakukan kolaborasi untuk menekan jumlah gas rumah kaca. Karena jika tidak ada kerjasama menahan laju pemanasan global, maka perubahan iklim akan segera menuju fase paling mengerikan: krisis iklim.
Hutan, Penyelamat Planet
Dari semua bencana-bencana akibat perubahan iklim, akar masalahnya hanya satu: selimut polusi alias gas rumah kaca yang melebihi ambang batas.
Selimut polusi tersebut mengangkasa dan membuat panas matahari tertahan di atmosfer, tidak bisa memantul ke luar angkasa.
Planet bumi terkenal sebagai planet biru dan hijau. Apa kalian tau artinya? Ya, itulah filosofi dari paru-paru bumi. Ialah hutan sebagai paru-paru “hijau” dan lamun-lamun + fitoplankton sebagai paru-paru “biru”.
Namun, sebagai manusia yang tinggal di daratan tentu paru-paru hijau menjadi wilayah otoritas yang bisa kita jaga sepenuhnya.
Peran hutan sangat besar dalam menyerap polusi. Kalian tahu, satu pohon durian saja bisa menyerap CO2 sebesar 1.4 ton/tahun? Bahkan Pohon Trembesi punya kemampuan mengikat CO2 sebanyak 28 ton/tahun dan pohon Akasia sebanyak 5.3 ton/tahun.
Thomas Crowther, peneliti dari Universitas Yale, AS, menyebutkan jumlah pohon di dunia (data 2016) mencapai 3,04 trilyun! Bayangkan seberapa banyak polusi yang bisa diserap?
Masih dari data yang sama, disebutkan secara kuantitatif manfaat pohon sebagai berikut;
- Satu pohon dewasa dapat menghasilkan O2 untuk 4 orang/hari
- Satu pohon dewasa dapat menyerap 1 ton CO2 /tahun.
- Satu pohon dewasa bisa menghilangkan polusi 70x lebih banyak daripada pohon muda.
- Satu pohon yang berada di sekitar bangunan bisa menghemat penggunaan AC sebesar 30%.
- Satu pohon dewasa menghasilkan 100 liter air/hari.
Ironisnya, walaupun besarnya manfaat hutan, namun tabiat manusia yang tidak pernah merasa puas justru malah melenyapkan hutan dengan alasan pembangunan. Tercatat ada 15 miliar pohon yang ditebang manusia seluruh dunia setiap tahunnya atau setara dengan 48 lapangan sepak bola setiap menit! Dan Indonesia menjadi salah satu negara dengan deforestasi paling cepat di dunia.
Andai Aku Bisa....
Dengan fakta seperti ini, pasti akan membuat kita tergerak untuk melakukan perubahan demi bumi yang kita wariskan untuk anak cucu kita.
Seandainya saya punya wewenang membuat kebijakan, saya ingin melakukan beberapa hal yang sudah lama saya pikirkan, bahkan sejak di bangku sekolah. Berikut saya sampaikan beberapa poin berdasarkan dari sumber emisi gas rumah kaca yang sudah saya paparkan di bagian awal, yang terdiri dari sektor; energi, kehutanan, transportasi, bangunan dan industri
1. Membuat PLTB dan PLTS sebagai sumber energi listrik pengganti PLTU
Sebagai negara kepulauan dengan diapit 2 samudera menjadikan potensi angin di Indonesia cukup besar. Bahkan dengan kondisi geografis Indonesia yang punya beragam topografi, seperti pesisir, lembah, bukit, dan padang rumput menjadi ladang angin dengan angin yang bisa dijadikan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu).
Pun dengan ide PLTS, saya pikir sangat cocok untuk wilayah Indonesia yang berada di wilayah tropis yang menerima sinar matahari 365 hari dalam setahun.
PLTB dan PLTS adalah solusi pengganti sumber energi listrik yang ramah lingkungan dan ketersediannya melimpah ruah karena disediakan gratis dari alam.
Dengan beralih pada 2 sumber itu, kita akan menutup dan menghentikan tambang batubara yang sudah menjadi salah satu penyebab terbesar emisi gas rumah kaca.
2. Memperbaiki layanan transportasi umum
Sebanyak 14% dari emisi gas rumah kaca global berada pada sektor transportasi. Bahkan di Indonesia porsinya menjadi sangat besar karena populasi yang tinggi dan kepemilikan kendaraan pribadi yang mudah.
Dengan mudahnya akses transportasi umum, penduduk akan pelan-pelan meninggalkan kendaraan pribadi dan gas rumah kaca akan bisa ditekan.
3. Mengganti jargon “Buanglah Sampah Pada Tempatnya” dari tingkat sel
Tahukah kalian bahwa sampah menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca khususnya di Indonesia. Sampah yang menggunung di Tempat Pembuangan Akhir mengeluarkan bau busuk yang menyengat, itu adalah metana (CH4) yang 21x lebih banyak mengikat panas matahari dibanding CO2.
Negara kita termasuk yang sangat minim edukasi soal sampah. Jangankan anak-anak sekolah, orang dewasa saja masih suka buang sampah sembarang, alih-alih membuangnya di bak sampah. Padahal jargon “buanglah sampah pada tempatnya” tidak lagi relevan. Tengok ke TPA di tempat kalian? Sudah seperti gunung saja besarnya, pohon-pohon pun jadi kelihatan seperti bonsai.
Tidak lagi relevan, karena saat ini yang relate dengan kondisi bumi sekarang adalah “Pilahlah Sampah”. Sisa bahan organik jangan lagi dibuang ke tempat sampah. Jadikan pupuk kompos dan eco enzyme. Tentu saja ini harus dimulai dari tingkat “sel” alias institusi paling dini, Sekolah Dasar.
4. Mewajibkan penanaman minimal 1 pohon untuk setiap rumah tangga
Ini adalah tanggung jawab sebagai sebuah keluarga yang berpartisipasi dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Satu pohon dewasa mampu menyediakan O2 untuk 4 orang dan 100 liter air setiap hari dan di saat bersamaan menyerap CO2 sebesar 1 ton/tahun. Satu pohon dewasa juga bisa menghemat penggunaan AC sebesar 30%.
Nikmat mana lagi yang kita dustakan, wahai manusia?
Karena apa kalian tahu, pembuatan sebuah rumah saja sudah menyumbangkan emisi gas rumah kaca. Maka, untuk menyeimbangkannya, tanamlah minimal 1 pohon besar untuk menyerap karbon dari segala aktivitas kehidupan yang terjadi di rumah itu
5. Menggalakkan Green Building di sektor industri, perkantoran dan sekolah
Pertama kali menegtahui tentang Sekolah Pahoa di Tangerang yang menerapkan green building benar-benar mind blowing!
Mereka bahkan bisa belajar dengan santai bahkan tanpa AC dengan memanfaatkan keberadaan pohon, tanaman, ventilasi, arah angin dan gerak matahari.
Pengurangan energi pun bisa mencapai 50% dibanding sekolah-sekolah lain dengan luasan yang sama, karena penerangan dan pendinginan ruangan bisa diperoleh secara alami.
6. Melindungi Masyarakat Adat, penjaga hutan turun temurun
Masyarakat Adat ternyata tidak bisa dipandang sebelah mata. Setelah saya pelajari, saya pun harus mengakui bahwa mereka lah penjaga hutan paling tulus. Filosofi hidup mereka selalu berdampingan dengan hutan. Mereka bahkan lebih cerdas dari manusia modern dalam hal keseimbangan alam.
Maka, menghormati dan melindungi eksistensi mereka sama saja melindungi hutan rimba dari ancaman kerusakan hutan.
7. Mewajibkan seluruh industri untuk mengadakan sumber energi mandiri mereka
Penggunaan panel surya atap bagi setiap industri adalah salah satu alternatif untuk sumber energi mandiri. Ini juga akan menekan penggunaan energi yang terbuang karena setiap industri akan melakukan efisiensi energi mereka. Ditambah lagi jika mereka menerapkan green building, maka target efisiensi akan tercapai.
8. Mengkriminalisasi para pembalak hutan dan reboisasi hutan gundul besar-besaran
Deforestasi menjadi hantu bagi masa depan planet ini. Pembalakan hutan mengirim jutaan ton emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Maka menjadikan para pembalak hutan sebagai seorang kriminal adalah hal yang pantas.
Reboisasi juga dilakukan pada hutan-hutan yang terlanjur digunduli. Selain reboisasi juga perlu tindak lanjut perawatan agar pohon muda yang ditanam tidak mati dan tumbuh dengan baik.
***
Jangan jadikan pohon rindang dan hutan rimba sebagai cerita dongeng pengantar tidur untuk anak cucu kita di masa depan. Tapi jadikan pohon rindang dan hutan rimba nyata di hadapan mereka.
Selimut polusi memang kian menebal, bencana demi bencana akibat perubahan iklim pun semakin sering menghantui. Tapi kita bisa menekan lajunya untuk menciptakan bumi yang layak huni untuk anak cucu kita nanti. Ayo, bersama-sama bergerak!
“Kita adalah generasi pertama yang merasakan dampak perubahan iklim. Tapi kita juga sekaligus generasi terakhir yang dapat bertindak”
– Barack Obama “Our Great National Park” –
Referensi
1. https://extinctionrebellion.uk/the-truth/the-emergency/part-1/
2. https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2009/11/091123_sejarahperubahan
3. https://hijauku.com/2012/09/20/hujan-makin-ekstrem-akibat-pemanasan-global/
4. https://nationalgeographic.grid.id/read/132543812/studi-air-laut-akan-naik-lebih-tinggi-lampaui-skenario-terburuk-pbb
5. https://nationalgeographic.grid.id/read/133074589/perubahan-iklim-sebabkan-badai-dan-siklon-terbentuk-di-tempat-baru?page=all
6. PERAN PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KEMUNCULAN OPT BARU oleh Farriza Diyasti, Aceu Wulandari Amalia. Direktorat Perlindungan Perkebunan-Ditjenbun
0 komentar