Menolak Kepunahan dengan Transisi Energi - Bismillah...
"Temenku lulus di pertambangan kan, Fik. Padahal kami temen-temennya sudah bilang apa lagi yang mau ditambang? Sudah (hampir) habis semua".
Aku ingat sekali, tetanggaku yang juga sekaligus kakak kelasku waktu SMA pernah cerita tentang temannya yang baru diterima kuliah di jurusan pertambangan. Baginya, jurusan itu sudah tidak potensial di masa depan karena stok batu bara di daerah kami sudah semakin terkikis habis, dikeruk untuk diekspor dan tentu saja dipakai sebagai bahan bakar PLTU.
Padahal, itu bukan soal masa depan seseorang, melainkan semua penduduk bumi tanpa terkecuali.
***
Jika orang lain ditanya bagaimana gambaran bumi masa depan? Mungkin dari imajinasinya akan membayangkan mobil terbang lalu lalang atau rumah di atas awan.
Tapi sayangnya bagiku tidak. Justru sebaliknya, sangat suram, mengingat bencana demi bencana yang semakin sering menerjang di belahan bumi manapun.
Semakin lama, aku semakin sadar bahwa masa depan bumi benar-benar di ujung tanduk. Dari ledakan populasi, wabah, penebalan gas rumah kaca sampai berujung pada perubahan iklim. Mungkin David Wallace-Wells salah satu yang punya pemikiran yang sama persis yang tertuang dalam bukunya yang berjudul The Uninhabitable Earth : Life After Warming (Bumi yang Tidak Dapat Dihuni : Kisah Massa Depan)
Perubahan iklim karena gas rumah kaca adalah ancaman di seluruh sektor kehidupan manusia, terutama sektor vital, seperti kesehatan dan pangan. Aku sudah berkisah banyak tentang ini di tulisan sebelumnya. Setelah membaca tulisan itu semoga saja kalian akan lebih aware lagi soal perubahan iklim. Kalau tidak, mungkin kalian perlu baca buku David itu.
Tidak, aku tidak sedang menyebarkan climate-anxiety. Tapi justru karena kita penduduk bumi kita harus buka mata tentang kondisi planet yang kita tinggali ini.
Kecemasan soal masa depan bumi memang bikin kita gelisah. Bahkan yang lebih parah akan berdampak pada produktivitas kerja, karena mikirin sesuatu yang mengerikan. No, no, no. Justru sebaliknya, kita seharusnya menangkis anxiety itu dengan aksi nyata. Seperti yang aku dan teman-teman #EcoBloggerSquad lakukan, salah satunya campaign lingkungan lewat tulisan.
Selain itu, sebagai IRT aku juga menyibukkan diri dengan mengolah sampah organik di rumah menjadi kompos dan eco enzyme. Sedangkan sampah anorganik aku serahkan ke bank sampah. Nyatanya langkah sekecil itu mampu mengurangi kecemasanku soal masa depan bumi. Setidaknya aku sudah bertanggung jawab atas sampahku, sampahku tidak lagi menjadi penyebab gas rumah kaca.
Mungkin ini salah satu action untuk menekan climate-anxiety yang bisa dilakukan juga oleh kalian. Selain itu coba kita pelajari solusi lainnya yang ternyata sudah pelan-pelan dilaksanakan. Niscaya mempelajari solusinya bisa menjadi obat atas kecemasan kita terhadap masa depan bumi. Dan salah satunya adalah: transisi energi yang akan dibahas kali ini.
Apa itu Transisi Energi
Sejenak recall pelajaran IPA kelas 4 SD, soal sumber daya alam yang bisa diperbarui dan tidak bisa diperbarui. Dari sana kita tahu bahwa salah satu sumber daya yang bisa diperbarui, misalnya; angin, air, sinar matahari. Dan salah satu yang tidak bisa diperbarui adalah bahan bakar fosil.
Saat itu yang aku pahami bahwa bahan bakar fosil lambat laun akan habis dan kita harus mencari penggantinya. Namun, semakin ke sini aku baru sadar bahwa urgensitas alternatif pengganti bahan bakar fosil bukan soal unrenewable saja, melainkan dampak yang dihasilkannya. Tidak lain tidak bukan adalah gas rumah kaca.
Seperti yang kita tahu bahwa penambahan selimut polusi atau jumlah gas rumah kaca melebihi batas ambang terjadi sejak 1950-an yang sebenarnya telah dimulai jauh sebelum itu, tepatnya saat masa Revolusi Industri sekitar tahun 1700 - 1800. Dan efeknya 100 tahun kemudian dan semakin menjadi-jadi hingga hari ini. Ya, penambahan jumlah gas rumah kaca yang dimulai satu abad lalu sekarang menunjukkan hasilnya. Pemanasan global atau kenaikan suhu bumi yang memicu terjadinya perubahan iklim yang membuat cuaca ekstrem dan tidak berjalan normal seperti biasanya.
Untuk itulah sekarang generasi sekarang terpikirkan ide untuk mengganti bahan bakar fosil menjadi bahan bakar "hijau" untuk mengurangi laju penambahan selimut polusi. Pertanyaan selanjutnya, apakah ini adalah solusi terbaik? Apakah lebih mudah dan menjanjikan bumi jadi lebih baik? Materi berbobot kali ini kami dapatkan dari Traction Energy Asia, organisasi nirlaba yang peduli lingkungan dan berfokus pada edukasi transisi energi.
Transisi energi adalah upaya mengurangi penggunaan energi fosil mejadi energi non fosil yang rendah polusi dan emisi gas rumah kaca
Perlukah? Seberapa urgen?
Hampir 3 abad lamanya manusia di bumi memanfaatkan energi fosil. Energi fosil yang terbentuk ratusan juta tahun lalu kini sudah saatnya dialihkan. Tidak hanya karena kandungan sumber di dalam bumi yang semakin tipis, tapi juga semakin karena tebalnya lapisan gas rumah kaca sebagai efek dari emisi karbon yang dihasilkan.
Fakta peningkatan penggunaan kendaraan pribadi berbahan fosil dan pembangkit listrik menyebabkan timbulnya polusi yang berefek pada pemanasan global.
Jika dijabarkan maka urutannya:
Kumpulan polusi dari permukaan bumi naik ke atmosfer > polusi tersebut membentuk selimut yang menahan panas matahari > terjadin peningkatan suhu permukaan bumi > peningkatan suhu ini membuat perubahan pada komponen atmosfer sehingga menyebabkan perubahan iklim > perubahan iklim menyebabkan peningkatan bencana alam > bumi tidak layak huni.
Menyoal bencana, rasa-rasanya kita sendiri sudah merasakan dampaknya. Bahwa akhir-akhir ini betapa banyaknya berita bencana datang silih berganti. Bahkan kebanyakan bencana itu datang karena perbuatan manusia juga yang semena-mena terhadap lingkungan, melukai bumi tempat dia berdiri. BNBP sebagai lembaga penangana bencana di Indonesia mengatakan hal tersebut, bahwa dibandingkan bencana alam yang murni karena alam (gempa bumi dan erupsi gunung berapi), bencana alam yang disebabkan oleh pemanasan global jumlahnya jauh lebih banyak. Bisa dilihat dari data BNPB di bawah, sebelah kiri.
Tidak hanya di Indonesia, belahan bumi manapun sekarang juga mengalami banyak keanomalian. Tempat yang punya iklim panas tiba-tiba kedatangan badai salju extrem, pun sebaliknya tempat yang punya iklim dingin tiba-tiba mengalami kebakaran hutan hebat. Texas dan Siberia adalah salah dua contoh betapa dampak energi fosil bisa mengubah iklim di bumi.
Belum lagi kita bicara soal kebakaran hutan, kekeringan, gagal panen (karena terendam air hujan atau justru kekurangan air), banjir bandang, banjir pasang air laut, angin puting beliung, dan tanah longsor.
Cuaca ekstrem juga sering kali membawa debit air hujan yang abnormal. Dalam setahun saja, suatu negara bisa berkali-kali porak poranda diterjang banjir bandang. Hal ini semakin diperparah oleh degradasi hutan yang berlangsung lama dan masif.
Jadi, apakah kita perlu transisi energi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar non fosil? Maka, jawabannya adalah YA, pasti, mau tidak mau kita harus melakukan transisi ini untuk menyelamatkan bumi.
- Emisi dari energi fosil (kendaraan dan pembangkit listrik) adalah dua besar sumber emisi gas rumah kaca terbesar, bersama dengan deforestasi
- Penambangan energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara juga memicu penebangan hutan untuk pembukaan ladang tambang
- Pengurangan penggunaan energi fosil tidak hanya menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor energi saja, tapi juga akan membantu mengurangi emisi dari sektor kehutanan.
Lalu, bagaimana pelaksanaannya? Apakah sudah berjalan? Adakah sudah dampaknya pada penurunan selimut polusi?
Transisi Energi di Bidang Transportasi
Energi "hijau" yang akan dan sedang diupayakan untuk menggantikan energi fosil di antaranya adalah biofuel yang terbuat dari minyak sawit, sehingga sering juga disebut sebagai bahan bakar nabati yang diklaim terbukti mengurangi kadar emisi karbon.
Apa kalian pernah dengar istilah "biodiesel"? Biodiesel adalah salah satu contoh biofuel (bahan bakar ramah lingkungan) yang berasal dari tanaman. Biasanya yang paling umum digunakan adalah minyak kelapa sawit.
Untuk transportasi darat transisi energi yang sudah dijalankan adalah penggunaan kendaraan listrik dan biodiesel B30. Biodiesel B30 adalah komposisi dari bahan bakarnya yang berasal dari 30% biodiesel dan 70% bahan bakar fosil).
Untuk transportasi laut transisi energi yang sudah diterapkan adalah Biodiesel B100 alias murni biodiesel. Kapal lau bisa menggunakan full biodiesel karena melaju cukup lambat dibanding kendaraan di darat.
Untuk transportasi udara transisi energinya masih cukup sedikit, karena hanya bisa menggunakan 2.4% bioavtur dan 98.6 avtur (bahan bakar fosil) sehingga diseut sebagai biodiesel B2.4. Alasannya sama seperti kapal, karena pesawat perlu kecepatan sangat tinggi sehingga belum bisa dipenuhi dari biodiesel.
Transisi Energi di Bidang Kelistrikan
Seperti yang kita ketahui bahwa sekarang kebanyakan listrik kita dipasok oleh pembangkit listrik yang berbahan bakar batu bara. Sebagai orang Kalimantan, kami sudah terbiasa melihat tongkang hilir mudik membawa segunung emas hitam tersebut. Dulu waktu masih berjaya jumlahnya banyak, sekarang sudah tidak seramai dulu. Tapi tetap saja itu adalah masalah.
Dan seperti yang sudah kita ketahui juga bahwa batu bara termasuk SDA yang unrenewable, sudah pasti cepat atau lambat kita akan kehabisan batu bara. Kalau pun mau menunggu "restock", perlu ratusan juta tahun lagi untuk bisa ditambang. Mungkin kita juga sudah jadi fosil.
Seperti yang ditulis sebelumnya, bahwa perkara bahan bakar fosil ini bukan soal stoknya yang semakin menipis, tapi juga efeknya yang merusak keseimbangan iklim, maka transisi energi di bidang kelistrikan juga niscaya akan dibutuhkan.
Transisi energi di bidang kelistrikan yang sedang dijalankan berupa; Pembangkit Listrik Tenaga Surya, ,Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (Angin), Pembangkit Listrik Tenaga Air, Pembangkit Listrik Tenaga Surya, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, Pembangkit Listrik Tenaga Biogas.
Pembangkit listrik mana yang belum lazim kalian dengar?
Berikut beragam pembangkit listrik tenaga non fosil yang sudah mulai dijalankan di Indonesia
Sampahmu, Sumber Bahan Bakar Terbarukan
Mungkin ada teman yang mengernyitkan dahi soal fakta bahan dasar biodiesel.
"Kalau pakai minyak sawit, lalu permintaan bertambah, berarti ekspansi kebun sawit jadi legal donk. Lah gimana tuh? Mau pakai energi bersih koq ujung-ujungnya bikin masalah?"
Bener banget! Kita gak bakalan punya solusi yang benar-benar memecahkan masalah jika malah beralih ke energi non fosil yang menjadi faktor deforetasi.
Maka, solusi selanjutnya adalah penggunaan minyak sawit bekas atau kita kenal dengan minyak jelantah yang jumlahnya melimpah di negeri penyuka gorengan ini.
Ada fakta menarik soal minyak jelantah ini. Mengutip dari data yang saya dapatkan di Instagram @tractionenergy ternyata minyak jelantah atau UCO (Used Cooking Oil) menghasilkan emisi lebih rendah dibanding biodiesel dari sawit murni atau CPO (Crude Palm Oil). Bahkan dikatakan di sana, bahwa penambahan biodiesel UCO ke dalam Produksi Biodiesel Nasional sebesar 10-30% dapat menurunkan emisi hingga 24% dari total target penurunan emisi sektor energi 2022.
Selain itu biodiesel UCO tidak menghasilkan emisi karbon di tahap perkebunan. Sedangkan biodiesel CPO menghasilkan emisi lebih besar terutama pada proses perkebunannya hingga mencapai 80 - 94%.
Kalau begitu jelas sekali bagi kita bahwa minyak jelantah adalah win-win solution dari transisi energi dalam bidang transportasi. Di sisi lain kita bisa beralih pada energi terbarukan, di sisi lain kita memanfaatkan sampah sehingga tak lagi terbuang.
Namun sayangnya UCO juga punya tantangan dalam hal ini, di antaranya adalah belum ada kebijakan pemerintah untuk mendukung UCO sebagai bahan baku biodiesel dan juga belum matangnya skema pengumpulan yang sistematis dan inklusif yang melibatkan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat), sehingga solusi UCO untuk biodiesel belum merata.
Namun kita bisa menengok semangat Yayasan Lengis Hijau (PT Bali Hijau) yang merupakah salah satu produsen aktif biodiesel dari minyak jelantah di Bali. Selain itu ada juga CV Gen Oil di Makassar dan BUMDesa Panggung Lestari Desa Panggungharjo Kab. Bantul, Jogjakarta.
Mengutip dari situs Mongabay, di tahun ketiganya, Direktur PT Bali Hijau Diesel Endra Setyawan mengatakan pabrik ini sudah menghasilkan 500-an ribu liter biodiesel dari 350-an ribu liter jelantah yang didapat di Bali dan sisanya dari Surabaya. Harga jual Ucodiesel per Agustus ini Rp9500 per liter (harga 2016).
Selain biodiesel dari jelantah, adalah biogas yang disebut-sebut sebagai energi non fosil yang digadang-gadang sebagai jalan efektif untuk penyelesaian sampah di planet ini. Biogas sendiri adalah energi yang dikeluarkan dari limbah organik rumah tangga dan juga kotoran yang mana menghasilkan gas metan sebagai hasil dari reaksi pembusukannya.
Kalian pernah mendengar tragedi Leuwigajah, bukan? Tragedi yang menewaskan 150 orang yang terjadi di TPA Leuwigajah, Jawa Barat. Ya, tragedi itu dipicu oleh gas metana yang dihasilkan oleh gunungan sampah yang tinggi. Gunungan itu membentuk gas metana terperangkap di dalamnya dan akhirnya meledak.
Gas hasil pembusukan bahan organik secara anaerob itu kemudian diperangkap dalam sebuah pipa dan ditampung untuk kemudian difungsikan sebagai energi penggerak generator listrik atau pengganti LPG untuk menyalakan kompor.
Menolak Kepunahan dengan Transisi Energi
Tentu saja sebagai manusia kita dibekali naluri mempertahankan eksistensi dan juga akal untuk berpikir bagaimana caranya. Apa saja yang bisa kita lakukan untuk melakukan transisi energi dari tingkat terkecil, yaitu diri sendiri dan keluarga?
- Terlibat dalam pengumpulan minyak jelantah dan sampah organik untuk bahan baku energi non fosil (baik biodiesel aau biogas)
- Sharing kegiatan dan inovasi energi terbarukan kepada teman-teman, baik di medsos atau sesama tetangga
- Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi
- Menghemat penggunaan listrik
- Ikut mengedukasi tentang penggunaan produk energi terbarukan
Dalam setiap hal baru selalu ada tantangan dalam menghadapinya. Itu semua karena proses adaptasi yang menjadi sebuah keniscayaan. Tantangan yang kita hadapi dalam proses transisi bukan berarti mustahil untuk ke depannya, hanya saja semua butuh proses pembiasaan. Seperti misalnya, campaign yang sempat saya sampaikan ke teman-teman FB awal tahun tadi soal pengumpulan minyak jelantah, malah ada yang berspekulasi negatif (untuk pembuatan minyak goreng curah yang murah).
Tidak bisa menyalahkan mereka 100% karena toh faktanya masyarakat kita memang belum familiar dengan istilah biodiesel dan tidak faham bahwa jelantah ternyata bisa diubah menjadi pengganti solar.
Kita baru bicara soal akar rumput. Belum lagi jika membahas soal pendanaan transisi energi yang pasti tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tapi sebagaimana manusia normal, kita akan tetap berusaha melakukan transisi energi menuju energi terbarukan untuk melindungi generasi kita dari kepunahan.
0 komentar