“Aduh, ini koq bentar hujan bentar panas. PHP banget ya. Gak kering-kering ini cucian, haduuuh.”
Seorang teman maya di FB mengeluhkan cuciannya yang tidak kering karena cuaca yang berubah-ubah, ditimpali komentar senada dari ibu-ibu yang lain. Mengomeli cuaca.
Tidak lama ini sebenarnya saya juga mengeluhkan hal serupa. Bukan soal “bentar hujan, bentar panas”, tapi cuaca di kotaku panasnya menyengat di akhir Desember – awal Januari. Padahal cuaca seperti itu biasanya ada saat bulan Agustus, puncaknya kemarau dan bukan di awal tahun.
Namun, di waktu yang sama, di tempat lain, seperti yang kita ketahui, teman-teman di Semarang justru kebanjiran satu kota.
Bahkan di negara subtropis dampaknya lebih dahsyat.
Februari 2021 lalu, Texas yang dikenal memiliki iklim panas (musim panas panjang dan musim dingin sebentar) tiba-tiba mengalami musim salju ekstrem. Lalu, Agustus 2021, Siberia yang terkenal memiliki iklim dingin mengalami kebakaran hutan yang berulang sejak 2013.
Inilah bahaya yang sudah diperingatkan para ilmuwan sejak 70 tahun lalu. Perubahan iklim.
Perubahan iklim adalah perubahan komponen atmosfer yang terjadi dalam waktu lama. Perubahan itu terjadi karena pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca.
Apa itu gas rumah kaca? Apakah karena pembuatan rumah kaca?
Bukan, Teman. Rumah kaca sama sekali bukan penyebab gas rumah kaca. Istilah gas rumah kaca diambil karena efek yang ditimbulkan sama seperti di dalam rumah kaca: suhu menjadi lebih hangat.
Gas rumah kaca sendiri terdiri dari 6 senyawa; CO2 (karbondioksida), CH4 (metana), CFC (klorofluorokarbon), NO (nitrogen monoksida), NO2 (nitrogen dioksida), SO2 (sulfur dioksida). Gas rumah kaca ini teremisi ke atmosfer dan membuat lapisan gas rumah kaca, menyerap panas matahari yang seharusnya terpantulkan ke luar angkasa dan efeknya? Suhu bumi jadi naik.
Fun fact-nya, gas rumah kaca sebenarnya sudah ada secara alamiah. Dikatakan alamiah karena berasal dari aktivitas biologi kehidupan di bumi. Itulah yang membuat suhu bumi hangat konstan (18°C) selama 10.000 tahun. Tanpa gas rumah kaca, bumi akan terus ada di dalam zaman es.
Namun sayangnya, gas rumah kaca yang teremisi sejak revolusi industri di abad 19 (1800-an) jumlahnya sudah di luar ambang batas.
Gas rumah kaca ini kemudian menyebabkan pemanasan global yang mengacaukan komponen di atmosfer, lalu berlanjut pada perubahan iklim yang kian tahun kian nyata efeknya dan akan berakhir menjadi krisis iklim -jika tidak ada upaya mengatasinya.
Jadi, kita sampai pada satu kesimpulan bahwa bencana-bencana yang terjadi akhir-akhir ini penyebabnya adalah emisi gas rumah kaca yang di luar batas.
Sesuai teori kausalitas ini, maka yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Daftar Isi [show]
Zero Waste to Hero
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca?
Zero waste adalah salah satunya.
Secara istilah zero waste adalah sebuah gaya hidup “nol sampah” yang meminimalisir sampah yang terbuang dari proses produksi, distribusi hingga konsumsi.
Ada 2 alasan kenapa harus zero waste:
1. Memutus rantai sektor penghasil emisi gas rumah kaca
2. Misi penyelamatan bumi yang bisa dilakukan dari rumah
Jadi, dari tujuan di atas, kita bisa breakdown apa saja usaha zero waste yang bisa dilakukan dengan sederhana di rumah, yaitu:
1. Pisahkan sampah organik dan anorganik
Zero waste bukan berarti kita tidak menghasilkan sampah sama sekali. Tapi, bagaimana mengelola sampah yang dihasilkan secara berkelanjutan.
Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah pemisahan sampah organik dan anorganik. Sampah yang tercampur jenisnya akan membuat sampah-sampah tersebut tidak ada nilainya kecuali hanya memperburuk emisi gas rumah kaca. Bagaimana tidak, sampah organik yang tercampur dengan sampah anorganik tidak akan pernah membusuk dengan baik dan menghasilkan gas metana yang merusak atmosfer 21x lebih tinggi daripada karbondioksida. Di sisi lain, ampah anorganik yang basah dan bau karena tercampur sampah organik pun akan gagal didaur ulang.
2. Membuat kompos dan eco enzyme
Selanjutnya, sampah organik yang kita hasilkan coba kelola secara mandiri di rumah. Dalam setahun ini aku banyak belajar soal pengolahan sampah organik menjadi kompos dan eco enzyme.
Kompos yang dihasilkan sangat bermanfaat untuk tanaman. Dia menjadi makanan kaya nutrisi dan juga jadi pembenah tanah dengan mempertahankan kehidupan mikroba tanah penjaga kesuburan tanah.
Sedangkan eco enzyme akan menghasilkan cairan yang penuh dengan bakteri baik enzyme dari kulit buah-buahan yang digunakan sebagai cairan pembersih ramah lingkungan.
Kompos dan eco enzyme adalah salah satu usaha zero waste yang membuat karbon tetap berada di permukaan bumi, tidak lepas ke atmosfer, menambah gas rumah kaca.
3. Upcycle mandiri atau bank sampah
Ketika urusan sampah organik sudah digenggam dengan baik, maka PR selanjutnya adalah mengelola sampah anorganik.
Tapi jujur saja, saya bukan orang yang kreatif untuk itu. Tapi ada beberapa yang bisa saya upcycle atau digunakan ulang dalam fungsi lain.
Misal;
1. Saya merombak gamis -yang dipakai sejak kuliah 13 tahun lalu- yang ada robek kecil di bagian bawah, menjadi long tunik.
2. Baju anak-anak yang sudah tidak layak pakai saya potong kecil-kecil dan dijadikan isian bantal. Agar tidak terasa mengganjal, kain itu disisipkan di dalam dakron bagian tengah.
3. Toples dan teko kaca yang kehilangan tutupnya -karena rusak, saya jadikan pot tanaman hias indoor.
4. Lemari plastik bekas yang tidak dipakai lagi saya gunakan untuk menampung dan memilah sampah anorganik sebelum diserahkan ke bank sampah.
Sisa sampah anorganik yang tidak bisa saya kelola dengan baik saya kumpulkan di lemari bekas tersebut. Sampah B3 (seperti baterai), kardus, kertas, masker, botol plastik, botol kaca saya susun di lemari tersebut sebelum saya serahkan ke bank sampah terdekat.
4. Mindful buying
Ketika saya belajar memilah sampah, berbarengan juga dengan saya belajar declutering, saya menyadari betapa sampah anorganik begitu banyak saya hasilkan. Saya melihat beberapa barang yang tidak terpakai -entah karena rusak atau sebentar saja manfaatnya.
Memang sih sebagian ada yang bisa di-upcycle, ada yang bisa diberikan (baju anak yang layak pakai tapi sudah kekecilan), tapi tetap saja yang terbuang lebih banyak. Miris ya. Padahal setiap barang yang saya pakai menghasilkan emisi karbon sejak proses pemilihan bahan baku, produksi, sampai distribusi dan sampai ke tangan saya. Melihat barang tersebut kemudian jadi teronggok tak terpakai seakan menampar saya betapa banyak emisi gas rumah kaca yang sudah saya hasilkan dari satu barang saja.
Oleh karena itu setiap kali belanja saya membawa kontainer makanan dan tas kain agar bisa mengurangi pemakaian plastik sekali pakai.
Oleh karena itu, pentingnya mindful buying menjadi skill yang seharusnya dimiliki setiap individu. Membeli dengan pertimbangan masak dan bukan secara impulsif.
Zero Waste City
Peristiwa ledakan di TPA Leuwigajah 2005 silam yang menyebabkan 157 orang meninggal adalah peringatan keras soal kesemrawutan pengelolaan sampah di Indonesia.
Kota Bandung pun dijuluki Bandung Lautan Sampah karena insiden tersebut. Cerita 18 tahun silam itu membuat kota ini berbenah. Setidaknya sekarang ada 5 kota yang jadi model percontohan kota zero waste yang didampingi oleh Aliansi Zero Waste Indonesia, yakni; Cimahi, Bandung, Purwakarta, Karawang
Berdasarkan data dari DLH Kota Bandung dan Tim Zero Waste Cities, terdapat kemajuan signifikan di 3 kawasan; Sukamiskin, Cihaurgeulis, Neglasari, berupa;
Dan pengurangan sampah sebesar:
Data di atas adalah data dari 3 kelurahan percontohan. Kegiatan zero waste jika dilakukan secara komunal dampaknya sangat terasa ya. Semoga akan kampanye zero waste cities akan terus berkembang hingga emisi karbon menjadi terkendali secara global.
Referensi:
1. https://labenviro.co.id/apa-itu-kebakaran-arktik-dan-apa-penyebabnya/
2. https://www.youtube.com/watch?v=qAWdXnLYbI4&t=420s
3. https://aliansizerowaste.id/2022/11/14/reformasi-pengelolaan-sampah-upaya-strategis-untuk-jaga-kenaikan-suhu-bumi-di-bawah-1-5c/
0 komentar