Mengenal Lebih Dekat Komunitas Lokal di Desa Nusantara - Bismillah...
Ketika mendengar nama Nusantara, otak kita langsung dengan cepat mengasosiasikannya dengan negara kepulauan ini, Indonesia. Dari SD kita sudah lebih dari paham soal alasan penyematan itu, yang berarti gugusan pulau-pulau yang terbentang dari Sabang - Merauke.
Dengan luasnya wilayah negara ini yang juga meliputi daratan dan lautan, tidak berlebihan jika kemudian Indonesia dinobatkan sebagai pemilik keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kita punya variasi bentang alam yang unik di dunia. Sebut saja; gambut, karst, sabana, perbukitan, pegunungan, hutan bakau, hutan tropis, gambut, danau, sungai, hingga lautan.
Dengan hadiah bentang alam yang diberikan Sang Khalik ini membuat kita bangga sekaligus waspada, karena Indonesia punya peran penting menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati dunia.
Keragaman Lanskap Ekologis
Tidak banyak negara di dunia yang punya bentang alam yang beraneka macam seperti Indonesia. Bentang alam tersebut kemudian menjadi harta karun kehidupan yang bisa menghidupi masyarakat di dalamnya. Seperti pegunungan karst (batuan gamping) di Sulawesi Selatan yang menyimpan potensi cadangan air yang besar, sehingga bisa mengaliri pertanian di sana. Atau seperti di NTT dengan bentang alam sabana, menghasilkan peternakan yang bagus. Sehingga nantinya, masyarakat Sulawesi yang punya hasil pertanian akan melakukan jual beli dengan masyarakat NTT yang punya hasil peternakan, untuk saling melengkapi kebutuhan mereka.
Hubungan timbal balik inilah yang pada akhirnya melahirkan sistem ekonomi di masyarakat yang mendukung keseimbangan ekosistem. Masing-masing masyarakat mengolah potensi alam yang berbeda-beda, sesuai dengan bentang alam tempat mereka. Sistem inilah yang seharusnya diangkat ke permukaan sebagai solusi pemulihan ekosistem global yang kian terancam.
Bencana Alam, sebuah konsekuensi menantang keragaman
Semakin jama kita melihat berita tentang bencana alam. Saya kasih italic, karena nyatanya ini bukan soal bencana alam yang benar-benar karena alam. Ini adalah bencana alam yang disebabkan karena manusia. Sesuai hukum III Newton, aksi-reaksi.
Lihat saja, perubahan iklim semakin menunjukkan dampaknya. Setiap tahun banjir dan kekeringan datang silih berganti. Merusak infrastruktur, merusak lahan pertanian, mengakibatkan kematian, menyusahkan semua manusia di planet ini karena cuaca ekstrem yang datang semakin sering. Coba lihat data di bawah, bencana alam yang benar-benar karena alam jumlahnya sedikit (gempa bumi dan erupsi) jika dibanding bencana hidrometeorologi (banjir, karhutla, cuaca ekstrem, gelombang, kekeringan).
How come? Bagaimana bisa pengelolaan SDA yang salah (tidak memperhatikan bentang alam) menjadi penyebabnya?
Lahan gambut misalnya. Gambut bukanlah lahan kosong tanpa manfaat. Justru di dasar gambut menyimpan cadangan karbon sejak zaman purba. Karbon tersebut harus selalu dijaga agar tetap tersimpan dalam tanah, sebagai tempat asalnya, dan bukan lari ke angkasa menambah jumlah gas rumah kaca. Tapi apa yang terjadi? Sayang seribu sayang, gambut kita sekarang banyak yang rusak, terjarah oleh korporasi yang memperluas lahan perkebunan. Menjadikannya rawan oleh kebakaran di saat musim kemarau dan sebaliknya, banjir saat musim hujan (ingat sifat 'spons' gambut). Gambut yang rusak tidak akan bisa menjaga keseimbangan ekosistem lagi.
Baca lagi: Pantau Gambut
Lalu, pegunungan Karst yang dieksploitasi karena menyimpan batu kapur, maka hanya soal waktu daerah sekitarnya akan merasakan dampaknya. Kekeringan dan gagal panen.
Dana Nusantara untuk mendukung komunitas lokal
(Disclaimer dulu ya, Dana Nusantara yang akan kita bahas ini tidak ada sangkut pautnya dengan dana pembangunan IKN. Hehe).
Istilah Dana Nusantara dipakai karena merujuk pada dukungan pengelolaan sumber daya alam sesuai karakteristik bentang alam di setiap wilayah di Indonesia, yang tidak lain adalah negara kepulauan yang kaya ini. Atau dengan kata lain Dana Nusantara ini dialokasikan untuk mensupport para masyarakat lokal di tingkat tapak untuk memulihkan kembali sumber daya alamnya dan berkontribusi pada penekanan laju perubahan iklim.
Dana Nusantara ini digagas dan dijalankan belum lama, baru sekitar tahun 2022 oleh 3 organisasi peduli lingkunga, yaitu; WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), AMAN (Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara), dan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria). Demi melihat misinya yang adiluhung, inisiatif ini wajib didukung.
Luas lahan tata kelola rakyat yang didampingi WALHI sebanyak 1.1 juta hektar. Dan model pengelolaan SDA yang digaungkan ini akan menempatkan masyarakat lokal sebagai subjek utama pemegang hak pengelolaan SDA. Bukan menyamaratakan semua daerah menjadi lahan kebun sawit atau pertambangan, seperti yang dilakukan oleh korporat. Karena para komunitas lokal lah orang yang paling tahu kondisi alam di tempat mereka tinggal. Tidak akan mungkin mereka merusak alam tempat mereka tinggal.
Berikut adalah perbedaan mendasar pengelolaanalam lewat tangan korporasi dan masyarakat lokal.
Pengelolaan lahan oleh perusahaan swasta | - Memakai prinsip kapitalisme (dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan profit yang sebesar-besarnya) - Ekploitasi SDA besar-besaran karena prinsip tersebut - Abai terhadap dampak jangka panjang yang akan ditimbulkan - Keuntungan perusahaan untuk memperluas perusahaan |
Pengelolaan lahan oleh masyarakat | - Bentang alam dan SDA di dalamnya dikelola secara berkelanjutan - Masyarakat lokal mengambil secukupnya - Berkontribusi dalam perbaikan eksosistem secara global - Memastikan SDA nya tetap lestari untuk keberlangsungan hidup anak cucunya - Tidak mengejar keuntungan untuk memperluas lahan |
Jangan pernah sesekali meremehkan kekuatan masyarakat lokal dalam menjaga bumi. Saya pernah ikut zoom tentang masyarakat adat, bagaimana mereka menjaga alamnya, bagaimana mereka memikirkan masa depan anak cucunya, bagaimana mereka mengeksplorasi kenanekaragaman alam tanpa merusaknya. Dan saya benar-benar takjub.
Baca lagi: Masyarakat Adat
Mereka sudah membuktikan, dengan tangan mereka lahan dan hutan yang rusak sebelumnya bisa pulih kembali. Karena mereka tahu, menjaga alam, menjaga kelangsungan hidup mereka sendiri, dan merusaknya sama dengan memunahkan generasi mereka selanjutnya.
Jika bisa diuraikan, maka Dana Nusantara digunakan untuk;
- Pemetaan partisipasif
- Dialog dengan paraa pihak terkait
- Menyusun tata guna lahan
- Perawatan dan pengelolaan kebun
- Perluasan wilayah kelola rakyat
- Mendukung inisatif penggunaan ekonomi berbasis komunitas
- Penerapan teknologi tepat guna
Kekuatan dana nusantara bukan dari besarnya nominal yang diberikan. Melainkan agar komunitas lokal tahu bahwa ada ekosistem yang mendukung mereka untuk mempertahankan pengelolaan lahan yang berkelanjutan
(Adam Kurniawan, WALHI)
Sejarah Desa Nusantara
Saatnya berkenalan dengan salah satu wilayah kelola WALHI dalam program Dana Nusantara. Seperti sebuah kebetulan, salah satu desa yang disokong ini bernama Desa Nusantara. What a sweet serendipity. Dalam acara webinar #EcoBloggerSquad kali ini, selain dari WALHI, kami juga mendengarkan paparan dari masyarakat lokal langsung, Pak Usman dan teman-teman.
Desa Nusantara ini sebelumnya adalah sebuah desa transmigrasi yang dibuka pada tahun 1981. Desa Nusantara berada di Sumatera Selatan, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Hilir., dengan luas 259.300 hektar. Kebanyakan transmigran datang dari Mojokerto, Kediri, Madiun, Tulung Agung, Nganjuk, Pandeglang, Subang.
Ada sebuah cerita yang menyayat hati yang disampaikan, cerita yang akan selalu dikenang oleh mereka sampai kapanpun. Bahwa dulu saat pertama menginjakkan kaki di sana, kondisi tempat yang sudah disiapkan jauh dari apa yang dibayangan mereka. Tidak ada jalan, tidak ada halaman rumah, dan bahkan rumah ada di atas rawa. Sungguh berbeda dengan tanah Jawa mereka. Dalam setahun dua tahun mereka tidak punya kegiatan. Meratapi nasib. Hanya mengandalkan subsidi dan ransum dari pemerintah. Minum pun hanya bisa memanfaatkan air tadah hujan dan jika musim kemarau mereka terpaksa minum air gambut yang berwarna merah kecokelatan dengan pH asam.
Sampai di sini suara Pak Usman mulai berat. Ada isak yang ditahan. Mereka dengan serba keterbatasan itu, ditambah tidak sehatnya air yang dikonsumsi, dan kurangnya fasilitas kesehatan, mengakibatkan wabah kolera yang membuat puluhan orang di desa mereka dan desa transmigran lainnya meregang nyawa. Dalam sehari, di satu desa ada belasan orang yang dikuburkan.
Seleksi alam. Tidak pernah terbayangkan oleh mereka yang sebelumnya besar di pulau Jawa, yang sungainya airnya jernih dan bersih, sekarang harus rela mengonsumsi air gambut. Singkat cerita, wabah itupun berlalu, penduduk yang ada sekarang adalah penduduk yang waktu itu selamat dari wabah dan beradaptasi dengan lingkungan mereka yang baru.
Setelah melewati tragedi itu, mereka harus melanjutkan hidup kembali. Akhirnya mereka mulai mencoba peruntungan dengan bertani dengan memanfaatkan satu pekarangan rumah (1/4 hektar) dan lahan ladang per keluarga sebesar 2 hektar. Mereka juga punya lahan cadangan seluas 200 hektar dan area lain seluas 1200 hektar.
Tapi saat itu mereka tidak langsung menuai hasil. Bahkan di dua tahun pertama percobaan mereka mendapati kegagalan demi kegagalan. Hingga setelah beberapa waktu berlalu, akhirnya mereka bisa berhasil panen setelah mempelajari bagaimana karakteristik bercocok tanam di lahan gambut yang sudah pasti berbeda dengan tanah vulkanik di Jawa.
Ekspansi Korporasi
Akhirnya setelah jatuh bangun, 1985 mereka mulai merasakan manisnya hasil kerja keras mereka. Perlahan usaha pertanian mereka bangkit dan bisa menghidupi mereka di tanah rantau. Berita menggembirakan bahwa sepuluh tahun setelah itu, di tahun 1995 mereka sudah swasembada pangan. Berbagai macam tanaman ternyata bisa tumbuh di sana. Padi, kopi liberica, buah naga, annas, nangka, tanaman holtikultura juga. Untuk ikan pun mereka tidak menangkap di pinggir rumah. Mudah saja.
Tidak mau kalah dengan orang tua, para pemudanya juga punya tekad untuk membangun desanya, mengolah lahan yang diberikan, menolak menjadi buruh sawit dan bahkan menolak hegemoni perusahaan sawit yang sudah mengelilingi mereka.
Hingga sepuluh tahun berjalan, datanglah korporat sawit yang ingin mengambil alih lahan mereka dengan mengatakan bahwa hidup mereka akan lebih baik ketika lahan mereka jadi kebun sawit. Dari sekian desa di Air Sugihan, hanya Desa Nusantara tetap bertahan untuk menolak pembayaran lahan mereka. Dengan kata lain, mereka mempertahankan lahan mereka dari ekspansi perkebunan sawit.
Seperti halnya dulu mereka membangun pertaniannya, sepuluh tahun kemudian perjuangan mereka mempertahakan tanah mereka tidak sia-sia. Korporasi itu tidak berhasil merampas lahan Desa Nusantara.
Kami ingin mengelola, bukan jadi buruh. Merdeka atas tanah. Selain juga memenuhi kebutuhan kami, kami juga menyediakan pangan bagi orang lain.
(Forum Petani Nusantara Bersatu)
Desa dengan Sustainable Landing Use Planning
Selain bentang alam yang luas, Indonesia juga dikaruniai banyak suku bangsa. Suku-suku inilah yang kemudian menjadi penjaga daerah dan lingkungan dimana mereka tinggal. Kita sudah sering menyebutnya di sini sebagai masyarakat adat dan masyarakat lokal. Dua segmen masyarakat ini punya keterikatan yang kuat terhadap lingkungan mereka. Mereka selalu punya prinsip mengambil secukupnya dari alam dan mengembalikannya ke alam.
Tapi sayangnya, masyarakat dan pemerintah agak sedikit tidak sejalan. Ini bisa jadi persoalan yang serius. Masalahnya, prinsip pengelolaan sumber daya alam korporasi berbeda dengan masyarakat, seperti yang sudah ditulis di atas. Perusahaan cenderung untuk mengekploitasi alam. Prinsip kapitalis yang dibawa akan mengancam kekayaan alam. Menggeser peran masyarakat adat dan lokal dalam menjaga keseimbangan ekosistem dunia.
Dengan deretan fakta ini, maka urgen untuk menyerukan dukungan untuk perencanan tata guna lahan yang berkelanjutan di bawah payung hukum sebagai benteng pertahanan atas lahan-lahan masyarakat yang diincar korporasi.
Hubungannya dengan Lingkungan
Desa dengan konsep sustainable akan selalu memperhatikan segala kegiatan mata pencaharian dan tindak tanduk kegiatan sehari-hari agar tidak merusak lingkungan. Kalian tahu, di Suku Baduy Dalam ada larangan penggunaan sampo, sabun dan deterjen lainnya? Mereka mengatakan bahwa itu akan merusak lingkungan. Tapi apa yang manusia (katanya) modern lakukan? Sebaliknya. Hingga benar yang dikatakan masyarakat itu, busa deterjen itu tidak bisa terurai di alam, mematikan biota air, dan merusak tanah.
Dalam praktek bertani, masyarakat lokal akan menggunakan bahan dari alam sebagai pupuk tanaman mereka. Kotoran hewan, daun kering, arang kayu, bonggol pisang, sekam padi, daun pepaya, kunyit, serai, bawang dll. Bahan dari alam tersebut menyediakan nutrisi makro dan mikro yang lengkap bagi tanaman setelah difermentasi. Tapi apa yang manusia (katanya) modern lakukan? Sebaliknya. Memakai pupuk dan pestisida sintetis, hingga akhirnya mencemari air sungai, merusak keseimbangan microbiome tanah. Bahkan mempengaruhi keseimbangan hormon manusia.
Atau seperti kegiatan mencari ikan. Masyarakat lokal biasanya hanya memancing sedapatnya saja, secukupnya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Namun beda hal jika dikelola sebuah perusahaan.
Terlalu banyak contoh yang bisa diangkat. Pembaca pasti lebih tahu banyak hal dari yang dituliskan ini.
Penjaga Bumi
Dari pemaparan dua jam webinar bersama komunitas lokal di Desa Nusantara dan WALHI, saya meyakini sekali bahwa komunitas lokal (masyarakat lokal dan masyarakat adat) adalah penjaga bumi yang sebenar-benarnya. Mereka lah yang paling sering berinteraksi dengan alam dan lingkungan mereka. Mereka bisa membaca alam, bagaimana alam minta dijaga dengan cara yang benar. Di tangan mereka lah iklim bisa terjaga dengan baik.
Adaptasi perubahan iklim yang sebenarnya adalah mengelola sumber daya alam sesuai dengan karakteristik bentang alam di daerah tersebut. Bukan malah menyamaratakannya menjadi lahan perkebunan atau pertambangan. Kembalikan pengelolaan sumber daya alam kepada masyarakat lokal untuk memperbaiki ekosistem global.
(Adam Kurniawan, WALHI)
0 komentar