Para Penjaga Bumi - Bismillah...
Selamat datang di hutan adat terbesar Indonesia!
Yap, 9 Agustus 2023 lalu, KLHK resmi menetapkan 15 hutan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah menjadi hutan adat, bertepatan dengan perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia. Luas dari 15 hutan adat itu setara dengan 68.326 hektar sehingga menjadikannya hutan adat terbesar di Indonesia. Tentu saja ini kabar yang sangat membahagiakan. Ibaratnya, pengobat sakit hati atas kegagalan kuadrat food waste di Gunung Mas 2 tahun lalu.
Apa itu Hutan Adat?
Dari namanya, kalian pasti sudah bisa menebak apa itu hutan adat. Namun jika boleh aku rincikan, yang dimaksud hutan adat adalah hutan yang tumbuh dan berkembang di wilayah negara, namun yang mengelola adalah Masyarakat Hukum Adat sebagai pihak utamanya, tanpa mengubah fungsi hutan (tanpa merusaknya) untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Jadi, pada hutan adat pengelolaan penuh diberikan kepada masyarakat adat yang sudah mendiaminya selama ratusan tahun.
Bagaimana mengelolanya jika tidak boleh merusaknya?
Biasanya, di dalam hutan adat terbagi tiga zona, yaitu; zona hutan terlarang, zona hutan pemanfaatan, dan zona hutan sungai.
Jadi ada hutan yang memang dikhususkan untuk berladang dan berburu untuk mencukupi kebutuhan hidup setiap harinya.
Masyarakat Adat
Kalau kalian familiar dengan nama Suku Baduy, berarti kalian sudah dapat satu contoh masyarakat adat (yang juga mendiami hutan adat). Suku Baduy adalah suku yang mendiami Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Lebak, Banten. Pemerintah Lebak juga sudah mengakui hutan adat Suku Baduy sekitar 5.101,8 Ha luasnya.
Ciri khas dari masyarakat adat adalah; mengambil hasil alam secukupnya, bertani secara organik dengan memperhatikan unsur nutrisi tanah jangka panjang dan terikat pada wilayah dan hukum adat di tempat mereka tinggal.
Kenapa mereka bertani secara organik? Kenapa pula mengambil hasil alam secukupnya -sedang mereka tinggal di hutan yang semuanya melimpah? Kenapa? Kenapa?
Cuma satu jawabannya; mereka cerdas. Mereka dekat dengan alam dan hidup mereka juga sangat bergantung dengan alam, sehingga mereka tahu bahwa alam harus diperlakukan dengan baik.
Kalian pernah dengar kalender tanam Pranata Wangsa? Almanak ini diperoleh dari hasil 'mendengarkan' alam. Bagaimana nenek moyang zaman dulu mengamati perubahan tiap musim dengan melihat susunan bintang, perilaku hewan sampai sifat tanaman. Misal, saat muncul rasi bintang Orion di sebelah timur setelah matahari terbenam, saat itulah awal tahun dimulai. Musim pertama disebut Karsa, selain ditandai dengan kemunculan Orion, juga dilihat dari kebiasaan alam seperti; daun-daun berguguran, kayu mengering, dan belalang masuk ke tanah. Saat itulah masyarakat bersiap membakar jerami untuk ketersediaan unsur hara pada tanah (persiapan menanam palawija).
Kalender tanam itu salah satu contoh seberapa dekatnya mereka dengan alam. Bestie banget pokoknya mah. Karena mereka paham sekali, jika alam diperlakukan dengan baik, alam akan memperlakukan mereka dengan baik juga.
Sebuah Mitos
Berbicara soal masyarakat adat, maka tidak akan jauh dengan istilah mitos. Mitos memang sangat kental di dalam komunitas masyarakat adat. Biasanya yang berkaitan dengan alam.
Ada sebuah mitos turun-menurun di Mungku Baru, Rakumpit, Kalimantan Tengah. Siapapun yang tinggal di sana sudah paham sekali soal ini, bahwa tidak ada yang boleh mengambil pohon ulin dari hutan mereka tinggal. Barang siapa yang menebang pohon ulin akan mendapat bala di kemudian hari.
Saking teguh memegang kepercayaan tersebut, konon anak Suku Dayak Ngaju bahkan tidak berani mengambil kayu ulin berlumut yang sudah rebah di tanah, entah tumbang karena angin atau lapuk karena usia.
Lain lagi dengan Masyarakat Adat Suku Baduy. Di sana, mereka dilarang menggunakan sabun, pasta gigi dan sampo kemasan. Larangan tersebut juga berlaku bagi turis yang berkunjung di sana.
Memang, masyarakat adat sangat kental untuk urusan permitosan ini. Kebanyakan mitos ini diajarkan dari generasi ke generasi, bernasab kepada leluhur mereka.
Terlepas dari bahaya metafisika yang disandingkan pada setiap larangan turun-temurun itu, namun nyatanya selalu ada penjelasan ilmiah di baliknya. Mitos kayu ulin di Suku Dayak Ngaju misalnya. Mitos bala yang dimaksud tentu saja benar. Bayangkan saja, berapa banyak air yang bisa disimpan dalam sebatang ulin, salah satu spesies pohon besar dan kuat yang usianya bisa mencapai seribu tahun?
Lain lagi Suku Tobelo Dalam di Maluku. Di sana mereka mempunyai aturan penanaman satu pohon untuk setiap bayi yang baru lahir. Suku ini sangat terasing karena mempertahankan benteng hutan terakhir di Halmahera.
Terlepas soal mistis yang masih kental, jujur saja, saya terkagum-kagum dengan cara mereka menjaga alam. Walau mereka selalu mengaitkan dengan supranatural, tapi tetap saja di sisi lain tetap bisa dinalar akal.
Dan pada akhirnya kita harus mengakui bahwa mitos itu dibuat sebagai kearifan masyarakat adat untuk menjaga hutan dan bumi dari perubahan iklim.
Yang kita anggap jauh dari modern, terbelakang, lagi primitif, jangan-jangan sudah berpikir jauh tentang masa depan bumi, dibanding manusia modern yang hobi menyulap gunung jadi lembah atau berlomba membuat gedung pencakar langit
Masyarakat Adat dan Karhutla
Flashback ke 25 tahun lalu, zaman TVRI masih jadi tontonan andalanku. Waktu itu sedang tayang film dokumenter tentang suatu masyarakat pegunungan yang sedang melakukan pembakaran lahan -yang sekarang aku baru tahu kalau itu bagian dari masyarakat adat.
Lho, katanya masyarakat adat = penjaga bumi? Koq bakar-bakar?
Ini menarik lho kalau mau dibahas.
Ternyata aku baru tahu kalau ternyata bakar-bakarnya masyarakat adat is another level. Mereka melakukan itu hanya di ladang bergilir mereka, bukan di sembarang tempat apalagi daerah hutan rimba / daerah terlarang. Dan sudah menjadi hukum adat di sana kalau mereka berkewajiban menjaga api di ladang mereka agar tidak melewati batas. Jika dilanggar maka jatuh sanksi atasnya. Namun, jika ditilik dari segi -sebut saja- sains pertanian, kegiatan membakar ladang adalah usaha menghasilkan unsur karbon yang penting untuk menjaga pH tanah agar tanaman tidak mudah terkena jamur.
Mereka juga tidak pernah memakai pupuk sintesis. Hanya dari apa yang disediakan alam, karena mereka tahu tanah yang mikroorganisme nya sehat akan subur dengan sendirinya dan berefek pada kesuburan tanaman. Oleh karena itu, mereka melakukan ladang bergilir yang sejatinya tempatnya hanya berputar di situ dan bisa kembali ke tempat semula. Tidak merambah kawasan baru.
Kalau kalian tahu Tera Preta Amazon, biang dari suburnya hutan hujan tropis terbesar di dunia, itu adalah tanah hitam yang mengandung biochar sebagai pembenah tanah. Tera Preta ternyata hasil dari usaha Suku Indian selama ribuan tahun.
Lagi-lagi masyarakat adat.
Begitu matangnya pemikiran mereka. Tidak hanya memikirkan panen dalam jangka waktu dekat, melainkan juga bagaimana tetap menjaga siklus nutrisi sepanjang bumi ini agar tetap ada.
Masyarakat Modern dan Karhutla
Lain ladang, lain belalang. Lain kolam, lain ikannya.
Begitulah, beda habitat ternyata beda juga isinya.
Sayang, kita masyarakat modern tidak sedekat itu dengan alam. Sehingga untuk bertahan hidup seringkali kita menyakiti alam. Karhutla contohnya. Berapa banyak hutan yang menjadi korban atas nama penghidupan? Pemikiran kapitalis yang banyak diusung manusia zaman modern ternyata berbuah kerusakan alam.
Green Activism
Kenapa sih panjang lebar ngomongin Masyarakat Adat? Sederhana. Karena merekalah savior of the earth, penjaga bumi sejati.
Jika mitos menjadi sebuah kearifan lokal masyarakat adat untuk menjaga alam dan hutan tetap lestari, maka kita juga bisa ikut menyelamatkan bumi tanpa menjadi masyarakat adat. Dan bagi kita yang mengimani agama berTuhan Esa, tentu saja bisa memandang ini lebih bijak. Memang tidak perlu percaya mitos untuk menyelamatkan bumi. Kita, manusia modern punya cara lain.
Bagaimana caranya?
1. Dukung masyarakat adat
Kalian tahu kan, akhir-akhir ini banyak tokoh adat yang dikriminalisasi. Yang sempat heboh di daerahku salah satunya kepala desa Kinipan. Beliau sebenarnya adalah garda terdepan yang berada di batas antara masyarakat adat dan non-adat. Beliau dikriminalisasi karena teguh mempertahankan hutan Kinipan dari ekspansi perkebunan sawit.
Tapi setelah melewati perjuangan yang tidak mulus, Alhamdulillah, berkat dukungan advokasi dari Walhi Kalteng akhirnya beliau sekarang bebas. Apakah sudah aman? Sayangnya belum. Kriminalisasi masyarakat adat akan selalu menghantui selama mereka belum berada di bawah payung hukum alias diakui pemerintah.
2. Share konten tentang lingkungan
Dari hasil survei Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah, 82% anak muda Indonesia khawatir tentang kerusakan lingkungan. Apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa bantu isu krisis iklim terus menerus terangkat sampai ada perubahan nyata dari pembuat kebijakan.
Kalau aku sendiri biasanya mulai dari yang terjangkau dan relate untuk para ibu-ibu, seperti mengolah sampah organik menjadi kompos dan eco enzyme, membawa wadah box untuk ikan dan sayur saat stok bahan makanan. Sudah terhitung 2 tahunan ini aku ikut membagikan konten tentang lingkungan. Sebenarnya ini cukup terlambat, mengingat aku sebenarnya sudah menghadapi secara langsung fakta perubahan iklim sejak 8 tahun lalu.
Tidak cuma di Instagram dengan konten foto dan video, kita juga bisa turut andil lewat tulisan. Entah di blog pribadi seperti ini ataupun UGC seperti Kompasiana.
3. Share berita tentang lingkungan
Karena Indonesia sangat luas, banyak berita soal dampak krisis iklim pada masyarakat di laut, pesisir dan pulau-pulau kecil yang kita tidak tahu. Padahal kehidupan masyarakat adat dan mata pencaharian nelayan mulai terganggu. Kita bisa bantu menyebarkan berita-berita ini dalam lingkungan pertemanan kita supaya makin banyak yang peduli. Apalagi sekarang dipermudah dengan adanya medsos. Kita tinggal re-share lewat story di IG atau repost di X (twitter).
4. Dukung Aksi Lokal
Juli Agustus 2023 pulau Kalimantan terdeteksi 1500 titik api. Banyak di antaranya yang kemudian berubah menjadi karhutla. Kalau sudah El Nino datang memang perasaan kami warga Kalimantan jadi harap-harap cemas, eh, cemas-cemas harap. Cukup sudah di 2015 dan 2019 saja kami menderita karena bencana asap.
Apalagi jika melihat video para petugas yang di lokasi. Sedih rasanya melihat bajunya belepotan arang pohon yang terbakar dan mukanya yang lelah karena sudah menerjang kawasan yang terbakar. Panas, perih, sesak.
Oleh karena itu tahun ini aku ingin berpartisipasi dengan sedikit support untuk operasional mereka yang telah berjuang demi kami bernapas tanpa asap.
Ikut Challenge-nya di Team Up For Impact
Apa tuh challenge Team Up for Impact (TUFI)?
Jadi ini adalah tantangan untuk kita bisa mengurangi jejak karbon di setiap kegiatan kita sehari-hari. Jadi kita diajak untuk #BersamaBergerakBerdaya. Di website TUFI ini kalian bisa dapat insight baru bagaimana memulai langkah hidup berkelanjutan. Gak hanya soal sektor transportasi dan makanan, bahkan ada juga sektor digital yang belum banyak kita sadari. Yup, ternyata ranah digital juga menghasilkan emisi karbon.
Gimana caranya?
1. Masuk ke website TUFI di https://teamupforimpact.org/team-up-everyday/play
2. Lalu akan muncul kotak dan klik “Ikuti Tantangan”. Klik juga “Mulai Bermain
3. Setelah muncul gambar pohon, klik yang ada tulisan di bawahnya “Team Up For Impact Everyday.
4. Akan muncul list tantangan yang direkomendasikan hari ini. Kita bisa pilih salah satunya yang paling bisa dilakukan hari ini.
5. Scroll ke bawah, akan ada challenge Team Up For Impact berdasarkan enam kategori; sampah, makanan, digital, energy, bisnis hijau, aktivisme
6. Pilih kategori kalian dan masuk ke dalam challenge-nya.
Kalian juga bisa ikutan dan pilih challenge #BersamaBergerakBerdaya yang kamu banget alias yang paling dekat dan bisa dikerjakan dengan mudah.
Referensi
https://travel.detik.com/domestic-destination/d-3495706/hutan-adat-pohon-ulin--mitos-kutukan-di-kalimantan-tengah
https://www.menlhk.go.id/site/single_post/5512/klhk-tetapkan-15-hutan-adat-di-kabupaten-gunung-mas-kalteng
https://regional.kompas.com/read/2022/07/11/060000578/mengenal-pranata-mangsa-kalender-jawa-untuk-musim-cocok-tanam.
0 komentar